TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, ada indikasi kuat ribuan pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh sejak bulan lalu merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Hal ini dia katakan di Forum Pengungsi Global gelaran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dihadiri lebih dari 140 negara pada Rabu, 13 Desember 2023 di Jenewa, Swiss.
Di forum tersebut, Retno menyampaikan dunia tengah menghadapi lonjakan pengungsi yang sangat besar, dan perang serta konflik di berbagai negara menjadi salah satu penyebabnya. “Saya ingatkan bahwa kita semua memiliki kewajiban yang sama untuk menghentikan perang dan konflik, dan menghormati hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional,” ujarnya dalam keterangan pers, Kamis, 14 Desember 2023.
Secara khusus, dia membahas situasi di Palestina yang sedang diserang Israel dan etnis Rohingya yang terpaksa meninggalkan Myanmar. Dalam pidatonya dia mengajak masyarakat internasional bekerja sama untuk menghentikan konflik di Myanmar agar para pengungsi Rohingya dapat kembali ke sana.
Sejak serangan bersenjata dan kekerasan berskala besar pada Agustus 2017, ribuan warga Rohingya meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Mereka adalah etnis minoritas muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.
Meskipun telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara sejak 1982, menjadikan mereka populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia.
Di forum pengungsi tersebut, Retno mengingatkan adanya indikasi kuat bahwa para pengungsi telah menjadi korban tindak pidana perdagangan dan penyelundupan manusia. “Adanya TPPO semakin menambah kompleksitas dan sulitnya penanganan isu pengungsi. Saya jelaskan bahwa Indonesia tidak akan ragu-ragu untuk memerangi TPPO, yang merupakan kejahatan transnasional,” katanya.
Namun, dia mengatakan Indonesia tidak dapat menjalankannya sendiri. Menteri Retno menyerukan kepada perwakilan negara yang hadir bahwa diperlukan kerja sama erat, baik di kawasan Asia Tenggara maupun secara global untuk memerangi TPPO.
“Saya juga tekankan pentingnya penguatan kerja sama dengan UNODC, UNHCR dan juga IOM dalam penanganan masalah ini,” katanya. Dia merujuk pada kantor PBB untuk urusan narkoba dan kejahatan, kantor PBB untuk urusan pengungsi, dan Organisasi Internasional untuk Migrasi.
Selain itu, dia juga menekankan kewajiban menerima pemukiman kembali pengungsi atau resettlement bagi negara-negara pihak Konvensi Pengungsi 1951. Dia berujar, “Saya sampaikan proses resettlement akhir-akhir ini berjalan dengan sangat lamban. Banyak negara pihak bahkan menutup pintu mereka untuk para pengungsi.”
Indonesia pun akan memperkuat komitmennya untuk bekerja sama dalam kerangka Bali Process yaitu forum kerja sama bagi penanganan TPPO, seperti disampaikan Retno dalam pidatonya di forum tersebut.
NABIILA AZZAHRA A.
Pilihan Editor AS Tunda Penjualan Senapan ke Israel bukan Terkait Gaza, Ini Sebabnya