TEMPO.CO, Jakarta - Pemilu Hong Kong, Minggu, 10 Desember 2023, hanya diikuti 27,5 persen pemilih karena pemilik hak suara menolak pemilihan yang dianggap tidak demokratis itu. Pemerintah Hong Kong membatasi hanya calon yang disetujui Beijing bisa maju pemilihan legislatif ini, sehingga pemilu ini dipesetkan sebagai Pemilu "khusus patriot”.
Penurunan tajam dalam jumlah pemilih sejak pemilu terakhir pada tahun 2019 terjadi setelah Cina memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang digunakan untuk menekan perbedaan pendapat, dan merombak sistem pemilu untuk menghalangi kaum demokrat dan kelompok liberal lainnya.
“Dapat dilihat bahwa semua orang mulai merasa bahwa pemilu tidak ada artinya,” kata Lemon Wong, salah satu dari sedikit anggota Partai Demokrat yang masih terlibat dalam politik lokal.
“Bahkan pendukung pro-kemapanan pun bertanya pada diri sendiri mengapa mereka perlu memilih karena semuanya sama saja.”
Tingkat partisipasi terendah sebelumnya adalah 35,8% pada tahun 1999. Empat tahun yang lalu pada pemilu terakhir selama protes massal pro-demokrasi di Hong Kong, rekor jumlah pemilih sebesar 71% membawa kemenangan telak bagi kubu demokrasi dalam pemilu yang diperebutkan dengan sengit.
Pada pemilu kali ini, kursi yang dipilih secara langsung dipangkas hampir 80%, sementara semua kandidat diharuskan menjalani pemeriksaan latar belakang keamanan nasional dan mendapatkan nominasi dari dua komite pro-pemerintah.
Setidaknya tiga kelompok pro-demokrasi dan non-pro-kemapanan, termasuk kelompok moderat, dan bahkan beberapa tokoh pro-Beijing gagal memenuhi ambang batas tersebut.
Kegagalan sistem pendaftaran pemungutan suara elektronik yang belum pernah terjadi sebelumnya menyebabkan beberapa gangguan dan akhirnya beralih ke sistem manual, dengan waktu pemungutan suara diperpanjang 90 menit hingga tengah malam.
Komisi Pemilihan Umum mengatakan perpanjangan waktu tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan tingkat partisipasi pemilih.
Keamanan sangat ketat, dengan lebih dari sepuluh ribu polisi dikerahkan. Setidaknya enam orang ditangkap karena dugaan pelanggaran termasuk memposting secara online agar orang-orang memberikan suara yang tidak sah, atau menghasut orang lain untuk mengganggu pemungutan suara, menurut pernyataan dari polisi dan otoritas anti-korupsi kota tersebut.
Tiga anggota "Liga Sosial Demokrat" termasuk di antara mereka yang dibuntuti dan ditangkap tepat sebelum mereka berencana melakukan protes terhadap apa yang mereka gambarkan sebagai "pemilihan sangkar burung" dan "lompatan mundur besar" bagi hak-hak elektoral dan demokrasi.
Polisi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ketiganya ditangkap karena dicurigai berusaha "menghasut orang lain" untuk mengganggu pemilu.
Pemimpin Hong Kong John Lee, yang dalam beberapa pekan terakhir berupaya menggalang dukungan masyarakat terhadap pemilu, sekali lagi membela legitimasi pemilu tersebut mengingat adanya kebutuhan untuk menjamin stabilitas di Hong Kong setelah diserahkan Inggris ke Cina pada tahun 1997.
“Ini adalah bagian terakhir dari teka-teki bagi kami untuk menerapkan prinsip-prinsip patriot dalam mengatur Hong Kong,” kata Lee setelah memberikan suaranya. Ia menambahkan, pemilu 2019 telah digunakan untuk menyabotase pemerintahan dan membahayakan keamanan nasional.
Meskipun beberapa negara Barat mengkritik perubahan otoriter Hong Kong berdasarkan undang-undang keamanan nasional, Cina mengatakan mereka telah membawa stabilitas ke pusat keuangan tersebut setelah protes pro-demokrasi yang berkepanjangan pada tahun 2019.
REUTERS
Pilihan Editor Ini Spesifikasi Drone Karrar Iran yang Bisa Membuat Israel dan AS Khawatir