TEMPO.CO, Jakarta - Keberhasilan Qatar membawa Hamas dan Israel duduk di meja perundingan yang menghasilkan gencatan senjata sementara dalam perang di Gaza, melahirkan banyak pujian, tak terkecuali dari Amerika Serikat.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken menilai gencatan senjata sementara yang disetujui antara Israel dan Hamas membuahkan hasil. Dia berharap gencatan senjata ini akan terus berlanjut, termasuk perkembangan positif dari pertukaran sandera dan tahanan antara Israel dan Hamas yang dilakukan selama masa gencatan senjata.
Namun mediasi Qatar juga menuai kritik dari negara-negara Barat. Beberapa politisi AS dan Eropa menuduh negara Teluk tersebut mendukung kelompok Hamas yang mereka anggap sebagai organisasi teroris.
Ambivalensi ini terlihat jelas ketika Syekh Tamim mendarat di Berlin bulan lalu: “Kunjungan kenegaraan oleh emir berdarah,” demikian judul berita utama surat kabar Jerman Bild pada 12 Oktober 2023.
Para pejabat Qatar mengatakan mereka mulai menampung perwakilan Hamas di Doha pada tahun 2012 atas permintaan Washington, ketika kantor politik kelompok garis keras Palestina itu diusir dari Suriah. Israel memeriksa semua transfer keuangan yang dilakukan Qatar kepada warga Palestina di Gaza, kata sumber Qatar.
Hubungan pribadi Qatar dengan tokoh-tokoh kunci kelompok Hamas mungkin merupakan faktor terpenting di balik kemampuan Qatar untuk bernegosiasi secara efektif dalam konflik ini, kata Mehran Kamrava, profesor pemerintahan di Universitas Georgetown di Qatar.
"Mereka berkata, 'Begini. Kami telah menyediakan kantor dan dukungan logistik dengan mengorbankan reputasi yang sangat besar…Kami adalah satu-satunya orang yang ada untuk Anda saat Anda membutuhkan kami dan sekaranglah saatnya Anda harus membalas budi,'" katanya.
Meski dekat dengan pejabat Hamas, perunding Qatar tidak berbicara langsung dengan para pemimpin kelompok tersebut di Gaza, namun melalui perwakilannya yang berbasis di Doha. Rantai komunikasi terputus beberapa kali, bahkan selama dua hari penuh berturut-turut, selama satu setengah bulan pertempuran sengit sebelum gencatan senjata pada 24 November, karena pemadaman listrik atau blokade Israel, kata sumber yang menjelaskan tentang perundingan tersebut.
Mossad sering memainkan peran diplomatik dalam urusan Israel dengan Qatar, karena kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik formal, sebuah situasi yang menurut salah satu sumber Barat di Teluk juga memperlambat proses tersebut.
Netanyahu telah bersumpah untuk memusnahkan Hamas, yang menguasai Gaza, sebagai tanggapan atas amukan kelompok tersebut pada 7 Oktober, ketika Israel mengatakan orang-orang bersenjata membunuh 1.200 orang dan menyandera 240 orang.
Sebagai tanggapan, Israel membombardir wilayah tersebut selama tujuh minggu dan membunuh lebih dari 15.000 warga Palestina.
Sejak jeda pertempuran dimulai, sekitar 100 sandera telah dibebaskan dari Gaza, termasuk warga non-Israel. Israel telah membebaskan sedikitnya 210 warga Palestina dari penjaranya dan mengizinkan organisasi bantuan meningkatkan pengiriman bantuan kemanusiaan dan bahan bakar ke Gaza.
Namun setelah gencatan senjata selama tujuh hari, perang dapat kembali terjadi pada hari Jumat kecuali perpanjangan lain disepakati.
Berbicara kepada Reuters beberapa hari setelah gencatan senjata dimulai, mediator Qatar diplomat karir Abdullah Al Sulaiti, mengatakan upaya tersebut masih jauh dari selesai.
“Pada awalnya saya pikir mencapai kesepakatan akan menjadi langkah tersulit,” kata pegawai negeri yang terlibat dalam mediasi Israel-Hamas sejak tahun 2014. “Saya menyadari bahwa mempertahankan kesepakatan itu sendiri juga sama menantangnya.”
Gencatan senjata 7 hari akan berakhir hari ini Jumat pukul 7 pagi (12.00 WIB). Belum diketahui apakah jeda perang ini akan dilanjutkan.
REUTERS
Pilihan Editor Ukraina Disebut-sebut Ledakkan Kereta Kargo Rusia di Siberia