TEMPO.CO, Jakarta - Seorang aktivis asal Palestina, Mariam Abudaqa yang datang ke Prancis pada September 2023 untuk melakukan tur pidato, ditahan pada Rabu malam, 8 November 2023 setelah pengadilan menyetujui deportasinya.
Keputusan pengadilan administratif tertinggi di Prancis, Conseil d'Etat menyatakan Abudaqa, 72 tahun, anggota Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), “kemungkinan besar akan mengganggu ketertiban umum.”
Setelah dideportasi, aktivis yang menjadi tahanan rumah selama empat hari pada Oktober 2023 tersebut mengatakan ia berencana meninggalkan Paris menuju Mesir pada Sabtu, 11 November 2023. Saat ini, pengacaranya mengatakan ia ditahan di kantor polisi di Paris.
Pemerintah Prancis telah menindak ekspresi solidaritas terhadap Palestina setelah serangan kelompok militan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober lalu yang menewaskan setidaknya 1.400 orang. Beberapa protes di Prancis telah dilarang dan acara-acara dibatalkan, dan pihak berwenang Prancis menuduh beberapa kelompok pro-Palestina membenarkan terorisme.
Serentetan serangan balasan Israel sejak 7 Oktober di Jalur Gaza telah membunuh lebih dari 10 ribu orang berdasarkan Kementerian Kesehatan Gaza. Abudaqa mengatakan ia telah kehilangan 30 anggota keluarganya sejak awal perang.
“Kita diharapkan mati tanpa mengucapkan aduh, tanpa mengungkapkan rasa sakit,” kata Abudaqa pada konferensi pers, Selasa, 7 November 2023.
Sebelumnya, aktivis hak-hak perempuan dan anti-pendudukan ini telah diundang untuk berbicara di majelis nasional Prancis pada sebuah acara hari Kamis, namun partisipasinya diblokir pada Oktober lalu oleh presiden Majelis. Conseil d'Etat mendasarkan putusannya pada keanggotaan Abudaqa di PFLP, yang menyatakan bahwa ia menduduki posisi “kepemimpinan”.
PFLP adalah faksi terbesar kedua di Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang diakui oleh PBB dan Israel, namun masuk daftar hitam oleh Uni Eropa (UE) dan telah melakukan serangan terhadap warga Israel.
Sementara menurut Pierre Stambul, aktivis Persatuan Yahudi Prancis untuk Perdamaian yang mendukung tantangan Abudaqa di pengadilan, aktivis perempuan tersebut sudah tidak memegang posisi senior di PFLP selama lebih dari dua puluh tahun. Keputusan tersebut merupakan “kelanjutan kriminalisasi terhadap penduduk Palestina”, katanya.
Abudaqa mengatakan ia sulit tidur karena serangan Israel di Gaza terus berlanjut dan menjadi takut memeriksa telepon genggamnya, karena takut akan berita buruk lainnya.
“Kematian jauh lebih mudah dibandingkan tinggal di sini, sementara hati saya sakit untuk mereka. Atau harus menerima kabar setiap hari tentang salah satu dari mereka yang meninggal,” tuturnya.
REUTERS
Pilihan Editor: Inggris Larang Gas Tertawa , Apa Itu?