3. Militer Myanmar terhadap warga sipil
Hak asasi manusia Amnesty International mengungkapkan Militer Myanmar melakukan kejahatan perang dengan meletakkan ranjau darat “dalam skala besar” di sekitar desa, pada Rabu, 20 Juli 2022. Penyelidik Amnesty yang melakukan perjalanan ke negara bagian Kayah (sebelumnya dikenal sebagai negara bagian Karenni) dekat perbatasan dengan Thailand. Mereka mewawancarai 43 orang, termasuk yang selamat dari ranjau darat, tenaga medis, dan orang lain yang terlibat dalam operasi pembersihan itu.
Amnesty Internasional mengatakan mereka memiliki “informasi yang dapat dipercaya” bahwa militer menempatkan ranjau darat di setidaknya 20 desa, termasuk di dekat sawah dan di sekitar gereja, yang mengakibatkan cedera dan kematian warga sipil. Para peneliti mengklaim bahwa setidaknya dalam satu kasus, tentara menjebak tangga sebuah rumah menggunakan tripwire.
“Penggunaan ranjau darat yang keji oleh militer di rumah-rumah dan desa-desa akan terus berdampak buruk pada warga sipil di negara bagian Kayah selama bertahun-tahun yang akan datang,” kata Rawya Rageh, penasihat krisis senior di Amnesty International.
Agustus lalu, tim penyelidik PBB melaporkan bahwa kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Myanmar, termasuk pengeboman warga sipil, menjadi “semakin sering dan sembrono”. Laporan oleh Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar (IIMM), yang mencakup periode antara Juli 2022 dan Juni 2023, mengatakan ada bukti kuat bahwa junta Myanmar dan milisi afiliasinya telah melakukan tiga jenis kejahatan perang.
Kejahatan-kejahatan ini termasuk penargetan warga sipil secara sembarangan atau tidak proporsional dengan menggunakan bom dan pembakaran rumah serta bangunan sipil, yang kadang-kadang mengakibatkan kehancuran seluruh desa, kata laporan yang diterbitkan Selasa, 8 Agustus 2023. Laporan itu juga mengungkapkan adanya pembunuhan warga sipil atau pejuang yang ditahan selama operasi.
“Bukti kami menunjukkan peningkatan dramatis dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di negara ini, dengan serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga sipil, dan kami sedang menyusun berkas kasus yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku individu,” kata Nicholas Koumjian, Ketua IIMM.
Sejak junta merebut kekuasaan dua tahun lalu, Myanmar terjerumus ke dalam kekacauan, dengan gerakan perlawanan melawan militer di berbagai bidang setelah penumpasan berdarah terhadap lawan yang membuat negara-negara Barat memberlakukan kembali sanksi. Juru bicara junta tidak dapat dihubungi untuk dimintai tanggapan atas temuan yang dibuat oleh penyelidik PBB.
4. Tentara Eritrea terhadap warga Tigray
Menurut organisasi hak asasi Amnesty International, tentara Eritrea terus melakukan kejahatan perang di wilayah utara Tigray, di negara tetangga Etiopia, bahkan setelah perjanjian gencatan senjata. Setelah perjanjian bulan November tahun lalu, anggota militer Eritrea terus membunuh warga sipil, memperkosa dan memperbudak perempuan serta menjarah desa-desa, kata Amnesty International di Kenya, Nairobi, ketika merilis sebuah laporan.
Studi ini mendokumentasikan kejahatan hingga awal 2023. Tindakan tersebut merupakan kejahatan perang dan kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan, kata penulis laporan tersebut. Staf Amnesty International berbicara dengan 11 perempuan yang mengatakan bahwa mereka diperkosa atau diperbudak secara seksual setelah gencatan senjata ditandatangani.
Selain itu, lebih dari 40 perempuan menceritakan kejadian serupa kepada organisasi masyarakat sipil setempat. Beberapa dari mereka diperkosa di sebuah kamp militer yang dikelola oleh Angkatan Bersenjata Eritrea, yang lainnya di rumah mereka sendiri, atau di gedung-gedung yang ditempati oleh angkatan bersenjata, kata laporan itu.
Amnesty juga berbicara dengan para saksi dan keluarga dari sedikitnya 20 warga sipil yang sengaja dibunuh ketika rumahnya digeledah oleh pasukan Eritrea. Selain itu, seorang pekerja sosial setempat menghitung lebih dari 100 eksekusi ilegal terhadap warga sipil. Namun, Amnesty mengatakan tidak dapat mengkonfirmasi hal ini secara independen.
Sejak perang dimulai pada November 2020, Amnesty telah mendokumentasikan kejahatan yang melanggar hukum internasional dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat konflik, termasuk angkatan bersenjata Eritrea. Amnesty mendesak Eritrea dan Etiopia untuk secara efektif menyelidiki dan mengadili kejahatan yang melanggar hukum internasional.
Menurut perkiraan PBB, sekitar 600 ribu orang telah terbunuh di wilayah Tigray sejak November 2020. Beberapa juta perempuan, anak-anak dan laki-laki harus mengungsi. Kelompok riset International Crisis Group ICG menggambarkan konflik di Etiopia utara, tempat tinggal sekitar tujuh juta orang, sebagai salah satu yang paling mematikan di dunia.
Latar belakang perang dua tahun di Tigray ini adalah perebutan kekuasaan antara pemerintah pusat Etiopia dan Front Pembebasan Rakyat Tigray TPLF, yang menguasai wilayah tersebut. Melalui penengahan Uni Afrika (AU), pemerintah Etiopia dan TPLF akhirnya menandatangani kesepakatan damai pada 2 November 2022. Meski begitu, kejahatan perang tetap terjadi.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MAJALAH TEMPO | ANTARA
Pilihan Editor: Presiden Turki Erdogan akan Seret Israel ke ICC, Berikut Kategori Kejahatan Perang