TEMPO.CO, Jakarta - Tiga relawan WNI menolak tawaran evakuasi dari pemerintah Indonesia dan memutuskan tinggal di Jalur Gaza demi melanjutkan tugas kemanusiaan, di tengah bombardir Israel di wilayah kantong tersebut yang menewaskan ribuan orang. Satu dari tiga WNI itu adalah Fikri Rofiul Haq, yang mengatakan keputusan dia dan dua rekannya merupakan pilihan sendiri, dan didukung oleh organisasi Lembaga Medis dan Kemanusiaan (MER-C).
“Pertama, pilihan sendiri untuk tetap bisa membantu warga Gaza, terkhusus Rumah Sakit Indonesia. Kedua, memang didukung oleh keputusan tim MER-C pusat,” kata Fikri kepada Tempo, Kamis malam, 2 November 2023.
Keluarga Fikri pun setuju dan mendukung keputusannya. Sebab ayahnya juga pernah menjadi relawan MER-C, bahkan mengepalai pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Beit Lahia, Gaza utara.
“Keluarga alhamdulillah setuju dan mendukung, terutama abi (ayah). Karena Abi juga menjadi relawan MER-C dan kepala pembangunan RSI, dan sudah pernah berada di Gaza pada 2012 sampai 2020, tentunya datang-dan-pergi,” ungkapnya.
Mengikuti jejak ayahnya, Fikri bersama Reza Aldilla Kurniawan dan Farid Zanzabil Al-Ayubi akan melanjutkan tugas mereka sebagai relawan di RSI. Selain relawan, ketiganya adalah mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Gaza. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Jumat, 3 November 2023 memastikan pihaknya akan terus melakukan komunikasi dengan ke-3 WNI tersebut.
Tak pulang karena masih kuliah
Dalam wawancara dengan Tempo pada Rabu, 11 Oktober 2023, Fikri sempat mengungkapkan alasannya dan dua relawan lain menetap di Gaza. Salah satunya adalah karena masih berstatus mahasiswa, dan harus menyelesaikan studi mereka.
“Tiga relawan ini kan masih jomblo. Jadi, kami memang ditugaskan untuk meneruskan jenjang kuliah. Memang kita harus menyelesaikan terlebih dahulu, baru kita bisa pulang,” kata Fikri.
Ia melanjutkan, jika pulang sebelum selesai kuliah, akses masuk kembali ke Jalur Gaza dari Rafah akan sulit. Menurutnya, ini dikarenakan pihak Mesir yang tidak selalu memberikan izin keluar-masuk dari gerbang tersebut.
Fikri, yang telah tinggal di Jalur Gaza sejak 2020, mengaku sampai saat ini belum pernah pulang ke Indonesia. Dalam proses untuk masuk ke wilayah kantong tersebut, ia mengatakan sempat menunggu selama enam bulan untuk perizinan dari Mesir.
Saat ini, di tengah serangan udara dan darat tak henti-henti sekaligus pengepungan oleh Israel, kuliahnya terhenti. “Tentunya kalau perang, semua aktivitas di Gaza termasuk sekolah dan kuliah terhenti. Karena memang kondisinya tidak kondusif,” katanya saat itu lewat telepon yang salurannya tersendat, di antara suara dentuman yang datang hampir setiap menit.
Tiba di Jalur Gaza saat berusia sekitar 20 - 21 tahun, ia tadinya mengambil program S1 jurusan usuluddin di Islamic University of Gaza (IUG). Namun, karena mengalami kendala bahasa, ia sekarang mengambil program D3 di University College of Applied Sciences (UCAS).
“Alhamdulillah, tinggal setahun lagi untuk menyelesaikan D3,” katanya.
Sebagai relawan kemanusiaan di Jalur Gaza, kegiatan Fikri dan kawan-kawannya beragam, seperti membagikan selimut di musim dingin, membagikan sembako, hingga memfasilitasi buka puasa bersama dengan anak yatim. Setelah libur musim panas, para relawan juga membagikan peralatan sekolah seperti tas, seragam, dan alat tulis untuk anak-anak kurang mampu.
NABIILA AZZAHRA ABDULLAH
Pilihan Editor: Netanyahu Tarik Kritik terhadap Intelijen Israel dan Minta Maaf