TEMPO.CO, Jakarta -Indonesia kembali terpilih sebagai anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan HAM PBB) periode 2023 – 2026.
Indonesia terpilih dengan perolehan suara 186 dari 192 dalam pemilihan yang digelar di New York, Amerika Serikat pada Selasa 10 Oktober 2023.
Meski demikian, organisasi masyarakat sipil sebelumnya menilai Indonesia belum layak untuk keanggotaan itu, karena masih banyak komitmen yang perlu dilakukan.
Komitmen tersebut dilihat dari rekomendasi Universal Periodic Review (UPR), tinjauan berkala terhadap catatan HAM di 193 negara anggota PBB.
Tinjauan didasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, instrumen HAM suatu negara, janji dan komitmen sukarela yang dibuat oleh negara termasuk ketika mengajukan pencalonan ke Dewan HAM, dan hukum humaniter internasional yang berlaku.
Dari 269 rekomendasi yang diberikan perwakilan negara-negara anggota di Sidang UPR putaran keempat pada 9 November 2022 di Jenewa, Swiss, sebanyak 55 rekomendasi ditolak secara halus dengan catatan “noted”, 5 rekomendasi didukung secara parsial, dan 210 rekomendasi didukung penuh oleh pemerintah Indonesia.
Sebagai salah satu organisasi dalam Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk UPR, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat bahwa ada tiga isu tingkat tinggi yang masih perlu mendapat perhatian dan komitmen Indonesia.
“Jadi, ada tiga dimensi isu high-level yang kami lihat masih belum ada komitmen menyeluruh dari Indonesia dalam perhelatan proses UPR,” kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya kepada Tempo pada Senin, 9 Oktober 2023.
Ketiga isu tersebut adalah izin terhadap Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB untuk melakukan kunjungan dan investigasi di Papua, hukum pidana mati, dan ratifikasi instrumen HAM.
Izin Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB untuk investigasi di Papua
Sebanyak tujuh negara, mulai dari Vanuatu hingga Amerika Serikat, mengajukan rekomendasi di UPR tahun lalu agar Indonesia melakukan investigasi di Papua terhadap dugaan pelanggaran HAM dan pembunuhan di luar hukum.
Total sembilan negara mengungkapkan kekhawatiran terhadap situasi Papua, menyerukan dalam rekomendasinya pencegahan impunitas, izin kunjungan dan investigasi Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, hingga kebebasan berkumpul dan berpendapat.
“Indonesia justru ragu atau tidak mau memberikan satu ruang terhadap otoritas dari PBB, terutama dari Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB untuk melakukan investigasi dan kunjungan terkait dengan situasi yang ada di Papua,” ujar Dimas.
Hukuman pidana mati
Abolisi atau penghapusan hukuman mati menjadi salah satu isu level tinggi yang menjadi perhatian organisasi masyarakat sipil. Sebanyak 29 negara di UPR tahun lalu memberikan rekomendasi agar Indonesia menghapus atau menerapkan moratorium terhadap hukuman mati.
Setelah rekomendasi tersebut, pemerintah Indonesia merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga hukuman mati menjadi pidana alternatif dengan kemungkinan tinggi atas keringanan. Namun, bentuk hukuman tersebut tetap menjadi bagian dari hukum positif Indonesia hingga sekarang.
“Menurut kami, ini menjadi satu cara pengabaian tanggung jawab menyeluruh dari negara untuk melakukan penghapusan hukuman mati sepenuhnya,” kata Dimas.
Meski belum mencapai abolisi sepenuhnya, hasil monitor KontraS menunjukkan bahwa belum ada satu pun eksekusi terpidana mati yang dilakukan Indonesia sejak 2016.
“Ini merupakan satu langkah yang menurut saya juga harus dibarengi perbaikan di level norma legislasi sehingga pidana mati tidak ada lagi dalam sistem peradilan,” sambungnya.
Ratifikasi instrumen HAM
Indonesia telah meratifikasi 8 dari 9 instrumen inti HAM. Tetapi, proses ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa (ICPPED) yang direkomendasi oleh 11 negara di UPR tahun lalu belum rampung. Anggota Komisi I DPR RI Al Muzzammil Yusuf pada Juni lalu menyampaikan harapannya agar ratifikasi bisa dilakukan pada 2024.
Sama halnya dengan ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT) yang menjadi rekomendasi 17 negara di UPR dan kerap kali diserukan oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan Komnas Perempuan karena tingginya angka laporan penyiksaan dalam dua tahun terakhir.
Indonesia masih belum meratifikasinya hingga sekarang.
Rekomendasi untuk meratifikasi instrumen lain yaitu Statuta Roma dan Konvensi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) 189 masih dipertimbangkan, berdasarkan laporan nasional yang disampaikan ke PBB pada November 2022 lalu.
Begitu juga dengan beberapa Protokol Opsional yaitu untuk Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (OP ICESCR); Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (OP ICCPR); dan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (OP CEDAW).