TEMPO.CO, Jakarta - Junta Niger pada Kamis malam, 5 Oktober 2023, mengatakan bahwa 400 tentara Prancis yang berbasis di kota barat daya Ouallam akan menjadi pasukan pertama yang melakukan penarikan. Hal ini merupakan pukulan lebih lanjut terhadap pengaruh Prancis di wilayah Sahel yang dilanda konflik.
Kepergian pasukan Prancis dari Niger telah menjadi tuntutan utama para perwira militer yang merebut kekuasaan pada Juli – salah satu dari serangkaian kudeta baru-baru ini di Sahel, Afrika Barat, yang secara drastis mengubah pertempuran yang telah berlangsung selama satu dekade melawan pemberontak yang terkait dengan Al Qaeda dan ISIS.
Prancis awalnya bertahan, menolak menerima legitimasi junta. Namun bulan lalu Presiden Emmanuel Macron memutuskan untuk mengakhiri kerja sama militer dengan Niger dan menarik seluruh 1.500 tentara Prancis, sehingga meninggalkan lubang besar dalam upaya Barat untuk melawan pemberontakan.
Kota Ouallam berada di garis depan krisis keamanan di Niger, dan menampung ribuan orang yang mengungsi dari desa-desa sekitarnya setelah bertahun-tahun diserang oleh kelompok bersenjata.
“400 tentara Prancis yang berbasis di Ouallam akan menjadi yang pertama berkemas dan berangkat,” kata junta dalam pernyataan yang dibacakan di radio nasional.
Junta juga mengatakan sebuah pangkalan udara di ibu kota Niamey, tempat sebagian besar tentara Prancis ditempatkan, akan dibongkar pada akhir tahun ini.
Belum ada komentar langsung dari Prancis, yang pengaruhnya terhadap bekas jajahannya di Afrika telah berkurang dalam tiga tahun terakhir karena para pemimpin kudeta di Mali, Burkina Faso dan Niger memutuskan hubungan di tengah gelombang sentimen anti-Prancis.
Paris mengatakan pada Kamis bahwa penarikan diri dari Niger akan dimulai minggu ini dan selesai pada akhir tahun ini, namun tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Sejak kudeta Niger, massa pendukung junta berkemah di luar pangkalan Niamey menuntut penarikan pasukan.
Mereka menuduh Prancis memberikan pengaruh berlebihan dan gagal menyelesaikan krisis keamanan yang telah menewaskan ribuan orang dan membuat jutaan orang mengungsi di wilayah tersebut.
Beberapa analis mengatakan junta militer di Sahel menggunakan Prancis sebagai kambing hitam atas masalah yang sulit diselesaikan.
Kekerasan telah meningkat di Burkina Faso dan Mali sejak mereka mengusir pasukan Prancis setelah kudeta pada tahun 2020-2022, menurut data konflik.
REUTERS
Pilihan Editor: Menteri Pakistan Bela Keputusan untuk Mengusir Pengungsi Afghanistan