TEMPO.CO, Jakarta - Konflik Kaukasus yang melibatkan Azerbaijan dan masyarakat Nagorno-Karabakh tiba-tiba mencuat ketika perhatian dunia sedang tercurah ke invasi Rusia di Ukraina.
Pada 19 September 2023, Azerbaijan melancarkan serangan militer ke Nagorno-Karabakh. Sehari setelah serangan dimulai, pada 20 September, kesepakatan untuk menghentikan permusuhan sepenuhnya di Nagorno-Karabakh dicapai melalui mediasi komando penjaga perdamaian Rusia.
Azerbaijan mengadakan pertemuan dengan perwakilan komunitas Artsakh Armenia pada tanggal 21 September di Yevlakh dan pertemuan selanjutnya akan diadakan pada bulan berikutnya.
Konflik di Karabakh bermula dari berabad-abad lalu. Wilayah yang terkurung daratan di Kaukasus Selatan di dalam pegunungan Karabakh, secara administrasi berada di wilayah Azerbaijan namun dihuni oleh warga beretnis Armenia.
Ketika Uni Soviet masih berkuasa, konflik bisa diredam. Namun setelah negara serikat ini bubar pada 26 Desember 1991, mulailah timbul konflik. Warga Nagorno-Karabakh menuduh pemerintah Azerbaijan melakukan Azerifikasi paksa di wilayah tersebut. Akibatnya, warga yang mayoritas beretnis Armenia, dengan dukungan ideologis dan material dari Republik Armenia, memulai gerakan untuk bergabung dengan Armenia.
Setelah konflik berkepanjangan, pada 10 Desember 1991, dalam referendum yang diboikot oleh warga Azerbaijan setempat, warga Armenia di Nagorno-Karabakh menyetujui pembentukan negara merdeka.
Azerbaijan yang menganggap Nagorno-Karabakh sebagai wilayahnya, menyerang dengan bantuan mujahidin Afghanistan, bersama dengan pejuang dari Chechnya, menghadapi pasukan pemberontak yang didukung Armenia dengan persenjataan eks Sovyet.
Konflik berlangsung sampai 1993 dengan korban jiwa lebih dari 30 ribu orang. Setelah itu dilakukan gencatan senjata pada 12 Mei 1994 dengan mediasi Rusia.
Wilayah ini biasanya disamakan dengan perbatasan administratif bekas Daerah Otonomi Nagorno-Karabakh, seluas 4.400 kilometer persegi, namun luas historis kawasan ini mencakup sekitar 8.223 kilometer persegi.
Pada tanggal 27 September 2020, perang baru meletus di Nagorno-Karabakh dan wilayah sekitarnya, yang melibatkan angkatan bersenjata Azerbaijan dan Armenia.
Konflik terakhir tampaknya tidak akan berlarut-larut karena Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan enggan terlibat. Ia bahkan mengatakan Armenia harus “bebas dari konflik” demi kemerdekaannya, katanya setelah kerabat etnis mereka di wilayah Nagorno-Karabakh yang memisahkan diri dari Azerbaijan, menyerah kepada Azerbaijan.
Jatuhnya Karabakh, wilayah yang dikuasai separatis etnis Armenia selama tiga dekade dengan dukungan Armenia, telah memicu seruan agar Pashinyan mengundurkan diri.
“Saat ini kita hidup di masa-masa sulit, menderita fisik dan psikologis yang tak terkira,” kata Pashinyan dalam pidato yang disiarkan televisi untuk memperingati hari kemerdekaan nasional Armenia, di mana ia tidak menyebutkan secara langsung Nagorno-Karabakh.
Armenia telah memperoleh manfaat dari demokrasi, supremasi hukum, dan kebijakan anti-korupsi yang berprinsip, namun negara ini juga membutuhkan perdamaian, kata Pashinyan.
“Perdamaian merupakan faktor yang menjamin keamanan serta kemerdekaan dan kedaulatan,” ujarnya.
“(Armenia) harus menempuh jalan ini demi kemerdekaan, demi kenegaraan, demi masa depan,” katanya.
Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengatakan pada hari Rabu bahwa dia menghargai kenyataan bahwa Armenia – yang memiliki sedikit pilihan – tidak mencoba ikut campur dalam serangan kilat Baku. Aliyev mengatakan hal ini akan menghilangkan hambatan bagi perundingan perdamaian yang lebih luas antara kedua negara tetangga Kaukasus tersebut.
Pashinyan pada tahun 2020 memimpin perang di mana Azerbaijan yang baru percaya diri dan bersenjata lebih baik merebut kendali atas sebagian wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh separatis, meletakkan dasar untuk merebut seluruh wilayah pada minggu ini.
Pashinyan memenangkan pemilihan kembali di Armenia beberapa bulan kemudian.
REUTERS
Pilihan Editor: Jerman Tak Bisa Terima Lebih Banyak Migran