TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Iran telah mengesahkan rancangan undang-undang baru “hijab dan kesucian.” Dalam aturan baru itu, ditetapkan hukuman bagi orang-orang terutama perempuan, yang melanggar aturan wajib berpakaian di negara tersebut.
Aturan yang disahkan pada Rabu, 20 September 2023, anggota parlemen menyetujui undang-undang yang diuji coba selama tiga tahun itu. Sebanyak 152 suara mendukung, 34 menentang, dan tujuh abstain. Dewan Wali, sebuah badan pengawas kuat yang terdiri dari ulama dan ahli hukum, perlu menyetujui RUU tersebut sebelum dapat diterapkan.
Implementasi undang-undang tersebut, yang telah dirancang selama berbulan-bulan, tidak dilakukan melalui pemungutan suara di parlemen. Keputusan itu disetujui bulan lalu oleh panitia khusus yang terdiri dari 10 anggota parlemen.
Undang-undang tersebut mendefinisikan kerangka baru untuk perempuan Iran yang harus mematuhi aturan berpakaian wajib yang telah diberlakukan sejak revolusi tahun 1979. Bagi perempuan selain menutup kepala, mereka dilarang berpakaian terbuka atau ketat, atau pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh lebih rendah dari leher atau di atas pergelangan kaki atau di atas lengan.
Bagi pria, aturan ini didefinisikan sebagai pakaian terbuka yang memperlihatkan bagian tubuh lebih rendah dari dada atau di atas pergelangan kaki, atau bahu. Peraturan ini juga menetapkan hukuman baru bagi orang-orang yang terbukti melanggar aturan.
Dengan total lebih dari 70 pasal, RUU tersebut mendefinisikan serangkaian hukuman finansial bagi pelanggaran jilbab, yang dapat ditingkatkan hingga hukuman penjara jika diketahui dilakukan secara terorganisir dan berhubungan dengan “pemerintah asing, jaringan, media, kelompok atau organisasi,” atau orang-orang yang berafiliasi dengan mereka.
Pelaku usaha dan pemilik usaha juga akan terkena hukuman, termasuk membayar denda dalam jumlah besar. Pelanggar juga dilarang meninggalkan Iran atau hukuman penjara jika mereka terbukti menyebarkan ketelanjangan, kurangnya kesucian atau penutup yang buruk dengan cara apa pun.
RUU tersebut juga merinci tugas-tugas baru bagi sejumlah pemerintahan, penegak hukum dan organisasi militer untuk memastikan mereka dan stafnya mematuhi aturan wajib berhijab.
Bulan lalu, sekelompok pakar PBB mengatakan RUU jilbab dapat digambarkan sebagai bentuk apartheid gender. “Rancangan undang-undang tersebut menjatuhkan hukuman berat terhadap perempuan dan anak perempuan karena ketidakpatuhan yang dapat mengarah pada penegakan hukum yang menggunakan kekerasan,” kata para ahli.
“RUU tersebut juga melanggar hak-hak dasar, termasuk hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan budaya, larangan diskriminasi gender, kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk melakukan protes damai, dan hak untuk mengakses layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan, dan kebebasan bertindak."
RUU tersebut disahkan hanya beberapa hari setelah peringatan tahun pertama kematian Mahsa Amini, seorang wanita berusia 22 tahun dari provinsi barat laut Kurdistan yang meninggal dalam tahanan polisi di ibu kota Teheran. Ia meninggal tak lama setelah ditangkap polisi moral karena melanggar aturan berpakaian wajib. Kematian Mahsa Amini memicu protes nasional yang berlangsung selama berbulan-bulan dan menyebabkan ratusan orang terbunuh.
AL JAZEERA
Pilihan Editor: Ketegangan Meningkat, India Berhenti Beri Visa pada Warga Kanada