TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah korban tewas akibat banjir Libya terus meningkat karena semakin banyak jenazah yang muncul di pantai sepanjang garis pantai negara itu, dan setidaknya 9.000 lainnya masih hilang.
Di Derna saja – kota yang paling terkena dampak bencana – otoritas kesehatan mencatat setidaknya ada 5.100 kasus.
Setidaknya 30.000 orang telah mengungsi di Derna dan beberapa ribu lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka di kota-kota timur lainnya, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi PBB.
Sementara para petugas penyelamat berlomba dengan waktu untuk membantu para penyintas, masih banyak pertanyaan yang tersisa tentang bagaimana bencana itu terjadi.
Bagaimana terjadinya Badai Daniel?
Citra satelit menunjukkan skala kehancuran setelah badai hebat menyapu seluruh bangunan dan orang-orang di dalamnya pada 8 September.
Namun empat hari sebelumnya, badai telah melanda Yunani, dengan laporan mengenai angin kencang, hujan lebat, dan banjir di negara tersebut serta di Turki dan Bulgaria.
Saat badai bergerak melintasi Mediterania, badai tersebut berubah menjadi apa yang dikenal sebagai “medicane”, atau siklon mirip tropis. Badai Daniel semakin kuat karena ia mengambil energi dari perairan Mediterania yang hangat, di mana suhu meningkat drastis selama beberapa tahun terakhir akibat perubahan iklim.
Air kemudian berpindah ke timur laut Libya di mana curah hujan deras menyebabkan dua bendungan sungai jebol, sehingga menimbulkan gelombang air yang sangat besar ke kota pesisir tersebut.