TEMPO.CO, Jakarta – Junta Myanmar memberikan grasi kepada tokoh demokrasi terkemuka Aung San Suu Kyi untuk lima dari banyak pelanggaran yang dia lakukan dengan total 33 tahun. Kekacauan di Myanmar terus berlanjut saat rezim militer menunda pemilu yang dijanjikan dan memilih memperpanjang keadaan darurat.
Media pemerintah Myanmar yang dikuasai militer melaporkan soal grasi terhadap Suu Kyi pada Selasa, 1 Agustus 2023. Tetapi sebuah sumber informasi mengatakan dia akan tetap ditahan. "Dia tidak akan bebas dari tahanan rumah," kata sumber yang menolak disebutkan namanya karena sensitifnya isu tersebut, dilansir Reuters.
Suu Kyi, yang merupakan peraih Nobel, pekan lalu dipindahkan dari penjara ke tahanan rumah di ibu kota, Naypyitaw. Ia ditahan sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada awal 2021.
Pemimpin partai National League League for Democracy yang diluluhkan junta itu mengajukan banding untuk berbagai pelanggaran mulai dari penghasutan dan penipuan pemilu hingga korupsi. Dia membantah semua tuduhan.
Suu Kyi, 78 tahun, putri pahlawan kemerdekaan Myanmar, pertama kali menjadi tahanan rumah pada 1989 setelah protes besar-besaran menentang kekuasaan militer selama puluhan tahun.
Pada 1991, dia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian karena berkampanye untuk demokrasi tetapi baru dibebaskan sepenuhnya dari tahanan rumah pada 2010. Ia memenangkan pemilu pada 2015, yang diadakan sebagai bagian dari reformasi militer tentatif yang dihentikan oleh kudeta 2021.
Kelompok sipil di Myanmar skeptis dengan keputusan junta memberikan grasi terhadap Aung San Suu Kyi. Pemerintahan bayangan yang tergabung dalam NUG menuntut Suu Kyi, U Win Myint, dan semua tahanan politik harus segera dibebaskan tanpa syarat.
“SAC #Junta harus bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka,” kata penjabat presiden NUG atau Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar dalam cuitannya pada Selasa, 1 Agustus 2023.