TEMPO.CO, Jakarta - Polisi agama Taliban membakar sejumlah alat musik di provinsi Herat, Afghanistan barat, menurut sebuah laporan yang dirilis hari Minggu, 30 Juli 2023, oleh kantor berita pemerintah Bakhtar.
Sheikh Aziz al-Rahman al-Muhajir, kepala Kementerian Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan provinsi, mengatakan musik menyebabkan "penyesatan kaum muda dan kehancuran masyarakat," menurut laporan tersebut.
Taliban melarang musik non-religius terakhir kali mereka memerintah negara itu pada 1990-an.
Gambar yang dirilis oleh Taliban menunjukkan para pejabat berkumpul di sekitar api dengan alat musik, termasuk gitar dan pengeras suara.
Afghanistan memiliki tradisi musik yang kuat, dipengaruhi oleh musik klasik Iran dan India.
Negeri ini juga memiliki kancah musik pop yang berkembang pesat, menambahkan instrumen elektronik dan ketukan tarian ke ritme yang lebih tradisional.
Keduanya telah berkembang selama 20 tahun terakhir sebelum Taliban merebut kekuasaan pada Agustus 2021. Taliban telah memberlakukan tindakan keras sejak merebut kendali Afghanistan ketika pasukan AS dan NATO mundur.
Siswa dan guru Institut Musik Nasional Afghanistan, yang pernah terkenal dengan inklusivitasnya, belum kembali ke kelas sejak pengambilalihan Taliban. Banyak musisi juga meninggalkan negara itu.
Taliban menjanjikan pemerintahan yang lebih moderat daripada masa kekuasaan mereka sebelumnya pada 1990-an. Mereka berjanji mengizinkan hak-hak perempuan dan minoritas. Namun kenyataannya, mereka memperkenalkan kembali tindakan keras sejalan dengan interpretasi mereka yang ketat terhadap hukum Islam, atau Syariah.
Mereka telah melakukan eksekusi publik, melarang pendidikan untuk anak perempuan di atas kelas enam dan juga melarang perempuan bekerja.
Awal pekan ini, Taliban mengumumkan bahwa semua salon kecantikan harus ditutup karena menawarkan layanan yang dilarang oleh Islam dan menyebabkan kesulitan ekonomi bagi keluarga mempelai pria selama pesta pernikahan.
DW