TEMPO.CO, Jakarta - Perang Rusia Ukraina belum rampung, bahkan kian memanas dengan kedua kubu saling unjuk taring memamerkan kepemilikan bom tandan atau bom klaster. Ukraina dapat pasokan dari Amerika Serikat. Sementara Rusia siap meladeni bila Ukraina menggempur dengan senjata terlarang itu saat melancarkan serangan balik.
Untuk diketahui, sebagaimana dinukil dari laman Cluster Munition Coalition, bom tandan merupakan submunisi dalam jumlah puluhan atau ratusan yang dijatuhkan dari pesawat terbang atau ditembakkan dari darat atau laut.
Peledak tersebut dapat memenuhi area hingga seukuran beberapa lapangan sepak bola. Siapa pun yang berada di area serangan munisi tandan, baik militer maupun sipil, sangat mungkin terbunuh atau terluka parah.
Bom tandan memang terlarang. Hal ini berdasarkan kesepakatan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. Perjanjian tersebut diinisiasi dan diadopsi oleh 30 negara pada 2008. Pada 2010, konvensi diratifikasi kembali. Enam bulan setelah ratifikasi, 107 negara setuju dan menandatangani kesepakatan baru. Negara-negara yang meratifikasi dilarang menggunakan, memproduksi dan menyimpan senjata itu.
Penyebab bom tandan dilarang
Melansir Antara, pelarangan terhadap bom tandan karena dampak ledakannya yang luas. Bahkan tak jarang bom gagal meledak dengan segera. Sehingga dapat terbengkalai selama beberapa tahun. Lalu meletus saat tersulut dan menewaskan atau mencederai ratusan warga sipil. Ledakan itu seringnya terjadi setelah konflik berakhir.
Kondisi ini pernah terjadi di wilayah-wilayah seperti Asia Tenggara, Balkan dan Lebanon selatan. Korban jatuh mayoritas adalah anak-anak. Mereka menemukan munisi secara tak sengaja dan membuatnya untuk bermain-main. Di Vietnam, seorang bocah usia 9 tahun tertangkap dalam potret pilu. Wajahnya berteriak ngeri karena punggungnya terluka bakar akibat bom tandan.
Foto sejuta makna itu diambil semasa Perang Vietnam oleh Nick Ut, pewarta foto dari Associated Press pada 8 Juni 1972. Potret itu benar-benar menggambarkan kengerian akibat pengeboman udara. Namun penggunaan terhadap peledak massal ini tak juga dihentikan. Bahkan saat Perang Lebanon 2006, Israel pun masih banyak menggunakan bom itu.
Dampak menyakitkan dari bom tandan akhirnya menggugah kesadaran masyarakat internasional. Pergerakan dari banyak negara kemudian melahirkan Convention on Cluster Munitions atau Konvensi Munisi Tandan. Konvensi ini melarang penggunaan bom tandan dan diadopsi pada 30 Mei 2008 di Dublin. Mulai ditandatangani pada 3 Desember 2008. Pada 2010 diratifikasi 107 negara dan hingga 2023 telah ada 111 negara yang ikut mengadopsi.
Dalam sejarahnya, bom tandan yang pertama kali digunakan secara signifikan adalah Sprengbombe Dickwandig buatan Jerman. Bom ini berbobot 2 kilogram dan digunakan Luftwaffe atau Angkatan Udara Jerman pada masa Perang Dunia Kedua. Tak hanya oleh Nazi Jerman, pada Perang Dunia Kedua, pesawat-pesawat negara Sekutu juga menggunakan senjata serupa.
Pengeboman terhadap Dresden di Jerman, misalnya, telah menewaskan lebih dari 25 ribu warga di kota tersebut. Juga pengeboman Tokyo, Jepang yang dilakukan beberapa kali, khususnya pada 1944-1945 telah menghabisi nyawa lebih dari 100.000 warga sipil. Kendati sejak 2010 telah dilarang, namun sepanjang abad ke-20 dan terus berlanjut hingga abad ke-21, termasuk dalam konflik Rusia dan Ukraina sekarang ini, nyatanya bom tandan masih tetap digunakan.
ANTARA
Pilihan editor : Perang Rusia Ukraina: Bagaimana Awal Bom Tandan hingga Dilarang 111 Negara