TEMPO.CO, Jakarta - Israel kembali meluncurkan serangan masif pada 3 Juli lalu terhadap kamp pengungsi Jenin, yang merupakan markas militan Palestina di wilayah West Bank. Seperti dilansir dari laman reuters.com, serangan tersebut menewaskan 12 warga Palestina yang tewas akibat bentrok bersenjata dengan militer Israel.
Namun demikian, serangan yang dilancarkan Israel pada 3 Juli lalu merupakan puncak dari konflik yang terjadi pada tempat tersebut sejak Maret 2022 silam. Sebelumnya, Jenin dan area utara dari West Bank mendapatkan perhatian khusus oleh pasukan militer Israel setelah terdapat beberapa serangan jalanan oleh warga Palestina.
Sebelumnya, pada Januari lalu militer Israel membunuh 7 pejuang Palestina dan 2 warga sipil pada serangan di Jenin. Bulan lalu, pejuang Palestina dan militer Israel terlibat baku tembak yang menyebabkan 6 warga Palestina terbunuh dan 90 orang luka, sementara itu 7 personel militer Israel terluka akibat ranjau yang melumpuhkan kendaraan lapis baja mereka.
Peristiwa tersebut menjadi konflik paling berdarah antara Israel dan Palestina sejak terjadinya intifada atau pemberontakan pada 2000 hingga 2005, seiring ketiadaan perundingan damai antara Palestina dan Israel. Selain itu, kondisi yang juga semakin memperlemah kondisi Palestina dan berbanding terbalik dengan Israel yang mengalami perluasan pemukiman di bawah pemerintahaan ultra sayap kanan.
Konflik tersebut terjadi pada era pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang kembali menjabat mulai dari 29 Desember 2022 lalu setelah menggantikan Yair Lapid yang menjadi pelaksana tugas atau Plt. Selain konflik bersenjata yang terjadi di kamp pengungsian Jenin, di bawah pemerintah Perdana Menteri Netanyahu, kepolisian Israel juga menyerang Masjid Al-Aqsa.
Seperti dilansir dari laman npr.org, konflik yang terjadi di dalam situs suci bagi umat Islam tersebut memperlihatkan polisi Israel dengan pakaian lengkap berupaya membubarkan blokade yang dibuat oleh masyarakat Palestina di dalam masjid dengan menggunakan tongkat. Namun demikian, konflik yang terjadi pada 8 April 2023 lalu meletus setelah kelompok Yahudi Fundamentalis menyerukan untuk memotong kambing sesembahan di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa.
Namun demikian, selain nama Benjamin Netanyahu, terdapat beberapa nama perdana menteri Israel yang terkenal memiliki kebijakan kontroversial terhadap. Seperti dilansir dari beberapa sumber, berikut perdana menteri Israel yang memiliki kebijakan kontroversial terhadap Palestina.
Ariel Sharon
Ariel Sharon merupakan Perdana Menteri Israel dengan masa periode kepemimpinan 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006. Selain itu, Ariel Sharon juga dikenal sebagai Perdana Menteri Israel yang kejam terhadap penduduk Palestina dan dianggap sebagai penjahat perang karena menargetkan masyarakat sipil Palestina.
Seperti dilansir dari laman imeu.org, Ariel Sharon terlibat dalam Pembunuhan Qibya pada 1953, dalam peristiwa tersebut Ariel Sharon memerintahkan untuk membunuh 69 masyarakat sipil Palestina yang kebanyakan terdiri dari perempuan dan anak-anak. Selain itu, Sharon juga memerintahkan untuk melakukan pembersihan total terhadap desa dan memaksa penduduknya untuk pergi meninggalkan desa, sebanyak 45 rumah, 1 sekolah dan masjid hancur dengan bekas tembakan peluru di pintu, yang menandakan bahwa warga sipil dipaksa untuk menetap di dalam, ketika peluru ditembakkan.
Naftali Bennett
Konflik yang terjadi Jenin mulai memuncak ketika Bennett menjadi Perdana Menteri dari 13 Juni 2021 hingga 30 Juni 2022. Seperti dilansir melalui wawancara Bennett dengan media “Jerusalem Post” yang dipublikasi melalui jpost.com, Bennett mengaku tidak masalah jika harus membunuh anak kecil ataupun bahkan perempuan jika mereka terindikasi teroris.
Dalam konflik Jenin pada era Bennett, seperti dilansir dari laman amnesty.org, militer Israel telah membunuh 79 warga Palestina yang 14 diantaranya merupakan anak kecil. Selain itu, pada masa pemerintahan Bennett, seorang jurnalis senior bernama Shirin Abu Akleh terbunuh.
Pilihan Editor: Pria Bersenjata Palestina Bunuh Tentara Israel di Tepi Barat