TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat mengutuk pembakaran Al-Quran di luar masjid di Swedia, dan menambahkan bahwa mengeluarkan izin untuk demonstrasi mendukung kebebasan berekspresi dan bukan mendukung tindakan tersebut.
Seorang pria merobek dan membakar Al-Quran di luar masjid pusat Stockholm pada hari Rabu, 28 Juni 2023, tepat pada Hari Raya Idul Adha, tindakan yang membuat marah Turki padahal dukungannya diperlukan Swedia untuk bisa menjadi anggota NATO
Berbicara pada jumpa pers harian, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matt Miller mengatakan Washington percaya demonstrasi itu menciptakan "lingkungan ketakutan" yang secara efektif mengekang kemampuan umat Islam untuk menjalankan agama mereka secara bebas.
"Saya akan mengatakan bahwa kami mengutuknya," kata Miller, Kamis, 29 Juni 2023.
"Kami percaya demonstrasi menciptakan lingkungan ketakutan yang akan berdampak pada kemampuan umat Islam dan anggota kelompok minoritas agama lainnya untuk secara bebas menjalankan hak mereka atas kebebasan beragama atau berkeyakinan di Swedia," katanya.
“Kami juga percaya bahwa mengeluarkan izin untuk demonstrasi ini mendukung kebebasan berekspresi dan bukan merupakan dukungan terhadap aksi demonstrasi.”
Polisi Swedia telah memberikan izin untuk berlangsungnya protes anti-Quran. Namun setelah pembakaran, polisi mendakwa pria yang melakukannya dengan agitasi terhadap kelompok etnis atau bangsa.
Swedia mencari keanggotaan NATO setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu. Tetapi anggota aliansi Turki telah menunda proses tersebut, menuduh Swedia menyembunyikan orang-orang yang dianggapnya teroris dan menuntut ekstradisi mereka.
Miller menolak untuk mengatakan apakah demonstrasi akan berdampak pada hubungan Turki-Swedia dan keanggotaan di NATO, tetapi menegaskan kembali posisi Washington bahwa negara Nordik itu bisa bergabung dengan aliansi tersebut.
"Sudah waktunya untuk bergerak ke akses penuh ke NATO untuk Swedia," katanya.
Presiden Turki Tayyip Erdogan mengecam Swedia atas pembakaran Al-Quran di Stockholm dan mengatakan Turki tidak akan pernah tunduk pada kebijakan provokasi atau ancaman.
REUTERS
Pilihan Editor Setelah Pemberontakan Grup Wagner, Nasib 'Jenderal Armageddon' Belum Jelas