TEMPO.CO, Jakarta - Warga negara Turki yang berada di luar negeri mulai memberikan suara dalam pemilihan presiden putaran kedua. Cuplikan dan foto dari tempat pemungutan suara di seluruh dunia pada hari Sabtu menunjukkan sejumlah besar orang mengantre untuk memilih pada Pemilu Turki.
Pemungutan suara putaran kedua berlangsung di dalam negeri pada 28 Mei setelah Erdogan gagal memenuhi ambang batas 50 persen untuk memenangkan pemilihan presiden langsung pada 14 Mei 2023. Pemilu kali ini dinilai menjadi tantangan politik terbesarnya.
Sekitar 3,4 juta orang Turki di luar negeri berhak memilih, atau sekitar 5 persen dari total suara. Pemungutan suara diaspora memiliki dampak yang jelas pada hasil putaran pertama pemilihan presiden. Masing-masing politisi mempertahankan kubunya di Eropa yang merupakan tempat tinggal lebih dari lima juta orang keturunan Turki.
Pada pemungutan suara putaran pertama, Erdogan menang di Jerman dengan 65 persen suara. Jerman menampung populasi diaspora terbesar dengan 1,5 juta pemilih yang memenuhi syarat. Namun, hasil di seluruh Eropa terpolarisasi. Saingan Erdogan, Kemal Kilicdaroglu mendominasi di Britania Raya, Eropa Selatan dan Timur, termasuk Balkan, Finlandia, dan Swedia.
Komunitas imigran Turki yang lebih baru di Polandia dan Estonia memberikan suara yang sangat mendukung oposisi dengan masing-masing 85 dan 91 persen.
Pemerintah Turki meminta untuk mendirikan 26 tempat pemungutan suara di konsulat dan lokasi lain di sekitar Jerman. Harapannya pemungutan suara bisa lebih nyaman bagi warga Turki. Jerman menyetujui membangun 16 tempat pemungutan suara.
Oposisi Partai Rakyat Republik (CHP) telah menghabiskan waktu enam bulan untuk mencoba meyakinkan pemilih yang ragu-ragu dan memobilisasi mereka yang tidak memilih sebelumnya. “Di mana pun Anda berada di dunia, menuju ke kotak suara dalam pemilihan ini adalah tugas nasional,” kata Kilicdaroglu dalam sebuah video di akun Twitternya.
Sementara itu, poster-poster Erdogan dipasang di selatan kota Nuremberg sejak akhir bulan lalu. Pemasangan poster Erdogan ini menimbulkan kontroversi di kalangan politisi lokal Jerman.
Serap Guler, seorang anggota parlemen Jerman keturunan Turki, mengatakan bahwa hasil pemilu yang ketat merupakan kegagalan bagi Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK) yang berkuasa. “Dia memiliki seluruh aparatur negara dan media di belakangnya,” katanya.
“Ini bukan pemilihan yang adil, tetapi pemilihan dengan sumber daya yang tidak setara, namun dia harus maju ke putaran kedua, benar-benar kehilangan muka baginya.”
Berbicara kepada Euronews pekan lalu, pengamat suara Onur Can Varoglu mengatakan bahwa politik Turki seperti sepak bola. "Anda dilahirkan dengan tim Anda dan akan mendukungnya apa pun yang terjadi.”
Kini pemilu Turki tertuju pada Sinan Ogan yang nasionalis, kandidat di urutan ketiga dengan dukungan 5,17 persen. Setiap keputusannya untuk mendukung salah satu dari dua kandidat di putaran kedua bisa menjadi penentu.
Ogan mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa dia akan mendukung Kilicdaroglu dalam putaran kedua. Syaratnya adalah jika Kilicdaroglu setuju untuk tidak menawarkan konsesi kepada partai pro-Kurdi.
Namun menjauhkan diri dari suara Kurdi akan menjadi bencana bagi Kilicdaroglu, yang menang besar di kota-kota yang didominasi Kurdi. Kilicdaroglu dan Binali Yildirim dari Partai AK, mantan perdana menteri, dilaporkan telah menelepon Ogan setelah pemungutan suara.
AL JAZEERA | REUTERS
Pilihan Editor: Zelensky Samakan Bakhmut dengan Hiroshima: Semua Hancur, Tak Ada yang Tersisa