TEMPO.CO, Jakarta - Pertempuran antara dua kekuatan militer di Sudan membuat warga sipil terjebak dalam teror mengerikan, bahkan di saat mereka seharusnya bisa merayakan Idul Fitri dengan damai dan suka cita.
Tentara Sudan sedang berseteru dengan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Setidaknya tiga gencatan yang mereka sepakati, termasuk jeda untuk masyarakat sekedar merayakan Lebaran, dilanggar.
Kedua pihak saling tuding sebagai pelanggar kesepakatan, sehingga masyarakat sipil tidak bisa lagi mengungsi. Setidaknya 300 warga sipil tewas akibat perang saudara ini.
Masyarakat berhari-hari terjebak di rumah atau distrik di bawah pengeboman dan dengan orang-orang bersenjata berkeliaran di jalanan.
Penduduk Khartoum dan kota-kota yang berdekatan Omdurman dan Bahri melaporkan serangan udara di dekat studoi televisi negara dan pertempuran di beberapa daerah termasuk di dekat markas tentara.
Seorang warga Bahri mengatakan tidak ada air atau listrik selama seminggu dan sering terjadi serangan udara. "Kami sedang menunggu pertarungan besar. Kami takut dengan apa yang akan terjadi," katanya.
Penduduk lain, Muhammad Siddiq, dari distrik Shambat Bahri, mengatakan, "Kami mengalami teror selama berjam-jam hari ini, ketika terjadi bentrokan dan baku tembak antara tentara dan RSF di lingkungan itu, dan peluru di mana-mana."
Tayangan TV menunjukkan awan asap hitam besar naik dari bandara Khartoum.
Badan amal medis Medecins Sans Frontieres (MSF) mengimbau perjalanan yang aman. "Kami membutuhkan pelabuhan masuk di mana kami dapat membawa staf spesialis trauma dan pasokan medis," kata manajer operasi MSF Sudan Abdalla Hussein.
Serikat dokter Sudan mengatakan lebih dari dua pertiga rumah sakit di daerah konflik tidak berfungsi, dengan 32 dokter dievakuasi paksa oleh tentara atau terjebak dalam baku tembak.
Di luar Khartoum, laporan tentang kekerasan terburuk datang dari Darfur, wilayah barat yang mengalami konflik yang meningkat sejak tahun 2003 yang menyebabkan 300.000 orang tewas dan 2,7 juta orang mengungsi.
PBB pada hari Sabtu mengatakan para penjarah telah mengambil setidaknya 10 kendaraan Program Pangan Dunia dan enam truk makanan lainnya setelah menyerbu kantor dan gudang badan tersebut di Nyala, Darfur selatan.
Keruntuhan Sudan yang tiba-tiba menjadi peperangan menghancurkan rencana untuk memulihkan pemerintahan sipil, membawa negara yang sudah miskin itu ke ambang bencana kemanusiaan dan mengancam konflik lebih luas yang dapat menarik kekuatan luar, empat tahun setelah penggulingan otokrat Omar al-Bashir.
Belum ada tanda-tanda bahwa kedua belah pihak dapat mengamankan kemenangan cepat atau siap untuk berunding. Tentara memiliki kekuatan udara tetapi RSF berkuasa di daerah perkotaan.
Panglima militer Abdel Fattah al-Burhan mengatakan pada hari Sabtu bahwa "kita semua harus duduk sebagai orang Sudan dan menemukan jalan keluar yang tepat untuk mengembalikan harapan dan kehidupan." Ini merupakan komentarnya yang paling mendamaikan sejak pertempuran dimulai.
Sebelumnya dalam bentrokan, dia menyatakan RSF sebagai pasukan pemberontak, memerintahkannya untuk dibubarkan, dan mengatakan solusi militer adalah satu-satunya pilihan.
Komandan RSF, Mohamed Hamdan Dagalo "Hemedti" mengatakan pada hari Sabtu dia tidak bisa bernegosiasi dengan Burhan.
Sejak penggulingan Bashir dan setelah kudeta 2021, Burhan dan Hemedti memegang posisi teratas di dewan penguasa yang dimaksudkan untuk menyerahkan pemerintahan sipil dan menggabungkan RSF ke dalam tentara.
Organisasi Kesehatan Dunia WHO melaporkan pada hari Jumat bahwa 413 orang telah tewas dan 3.551 terluka sejak pertempuran pecah. Korban tewas termasuk setidaknya lima pekerja bantuan di negara yang bergantung pada bantuan makanan ini.
REUTERS
Pilihan Editor: Anak Jubir Putin Ikut Perang di Ukraina, Bergabung dengan Grup Wagner