TEMPO.CO, Jakarta - Militer Sudan melancarkan serangan udara di pangkalan pasukan pemberontak di dekat ibu kota Khartoum dalam upaya menegaskan kembali kendali atas negara itu, Sabtu, 15 April 2023. Bentrokan itu menewaskan sedikitnya 25 orang dan mengancam upaya transisi ke pemerintahan sipil.
Di penghujung hari pertempuran sengit, tentara menyerang pangkalan milik Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter pemerintah di kota Omdurman, yang berbatasan dengan ibu kota Khartoum, kata saksi mata pada Sabtu malam.
Persatuan Dokter Sudan sebelumnya melaporkan sedikitnya 25 orang tewas dan 183 luka-luka dalam pertempuran yang meletus pada Sabtu antara militer dan RSF.
Kelompok itu mencatat kematian di bandara Khartoum dan Omdurman, serta barat Khartoum di kota Nyala, El Obeid dan El Fasher.
RSF mengklaim telah menguasai istana kepresidenan, kediaman panglima militer, stasiun televisi negara dan bandara di Khartoum, kota utara Merowe, El Fasher dan negara bagian Darfur Barat. Tentara membantah pernyataan itu.
Angkatan Udara Sudan minta warga tinggal di dalam rumah saat pesawat melakukan apa yang disebut survei udara terhadap aktivitas RSF, dan hari libur diumumkan di negara bagian Khartoum pada hari Minggu, menutup sekolah, bank, dan kantor pemerintah.
Tembakan dan ledakan terdengar di seluruh ibu kota, di mana tayangan TV menunjukkan asap mengepul dari beberapa distrik dan video media sosial menangkap jet militer terbang rendah di atas kota, setidaknya satu tampaknya menembakkan rudal.
Reuters melaporkan, kendaraan lapis baja masuk jalan-jalan ibu kota dan terdengar tembakan senjata berat di dekat markas tentara dan RSF.
Kepala Angkatan Darat Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan mengatakan kepada Al Jazeera TV bahwa RSF harus mundur.: "Kami pikir jika mereka bijak, mereka akan menarik pasukan mereka yang datang ke Khartoum. Tetapi jika terus berlanjut, kami harus mengerahkan pasukan ke Khartoum dari daerah."
Angkatan bersenjata mengatakan tidak akan bernegosiasi dengan RSF kecuali pasukan dibubarkan. Tentara memberi tahu tentara yang diperbantukan di RSF untuk melapor ke unit tentara terdekat, yang dapat menguras pangkat RSF jika mereka patuh.
Pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, lebih dikenal sebagai Hemedti, menyebut Burhan sebagai "penjahat" dan "pembohong". Militer dan RSF, yang menurut para analis berkekuatan 100.000 orang, telah bersaing memperebutkan kekuasaan ketika faksi-faksi politik bernegosiasi untuk membentuk pemerintahan transisi setelah kudeta militer tahun 2021.
"Kami tahu di mana Anda bersembunyi dan kami akan menangkap Anda dan menyerahkan Anda ke pengadilan, atau Anda mati seperti anjing lainnya," kata Hemedti.
Konfrontasi berkepanjangan dapat menjerumuskan Sudan ke dalam konflik yang meluas saat negara itu berjuang dengan kehancuran ekonomi dan kekerasan suku, menggagalkan upaya untuk bergerak menuju pemilu.
Bentrokan itu menyusul meningkatnya ketegangan atas integrasi RSF ke dalam militer. Ketidaksepakatan tersebut telah menunda penandatanganan perjanjian yang didukung secara internasional dengan partai politik tentang transisi menuju demokrasi.
Koalisi kelompok sipil yang menandatangani draf perjanjian itu pada bulan Desember menyerukan segera menghentikan permusuhan, untuk menghentikan Sudan meluncur menuju "jurang kehancuran total".
RSF menuduh tentara melakukan plot loyalis mantan orang kuat Presiden Omar Hassan al-Bashir - yang digulingkan dalam kudeta pada 2019. Kudeta 2021 menggulingkan perdana menteri sipil negara itu.
REUTERS
Pilihan Editor Anggota DPRD Sanggau Tewas Tertabrak Mobil di Malaysia saat Cari Sarapan