TEMPO.CO, Jakarta - Konsensus Iran dan Arab Saudi pada Jumat, 10 Maret 2023, untuk memulihkan hubungan diplomatik dianggap memberi sejumlah sinyal mengejutkan yang menyinggung Amerika Serikat, termasuk soal kemungkinan jalan mengendalikan program nuklir Teheran dan kesempatan untuk memperkuat gencatan senjata di Yaman.
Peran Cina sebagai perantara perdamaian di Timur Tengah – kawasan yang sudah lama berada dalam pengaruh AS, juga dipercaya akan membuat Washington gelisah. Kesepakatan antara rival regional itu diumumkan setelah empat hari pembicaraan di Beijing yang sebelumnya dirahasiakan.
Mantan pejabat senior AS dan PBB Jeffrey Feltman mengatakan peran Cina adalah aspek paling signifikan dari perjanjian tersebut. "Ini akan ditafsirkan - mungkin secara akurat - sebagai tamparan pada pemerintahan Biden dan sebagai bukti bahwa Cina adalah kekuatan yang sedang naik daun," kata dia, yang sekarang jadi peneliti di Brookings Institution, dikutip dari Reuters, Minggu, 12 Maret 2023.
Kesepahaman itu muncul di tengah upaya Iran mempercepat program nuklirnya, setelah dua tahun upaya Amerika Serikat yang gagal untuk menghidupkan kembali kesepakatan 2015. Washington ingin menghentikan Teheran memproduksi bom nuklir. Upaya itu diperumit oleh tindakan keras oleh otoritas Iran terhadap protes dan sanksi keras Amerika Serikat terhadap Teheran atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.
Brian Katulis dari Institut Timur Tengah, mengatakan, bagi AS dan Israel, perjanjian tersebut menawarkan jalur baru yang memungkinkan untuk menghidupkan kembali pembicaraan yang macet tentang masalah nuklir Iran, dengan mitra potensial di Riyadh. "Arab Saudi sangat prihatin dengan program nuklir Iran," katanya.
Kesepakatan Jumat juga menawarkan harapan untuk perdamaian yang lebih tahan lama di Yaman. Konflik yang dipicu pada 2014 secara luas dipandang sebagai perang proksi antara Arab Saudi dan Iran.
Gencatan senjata yang ditengahi PBB yang disepakati April lalu sebagian besar telah diadakan. Meskipun, itu telah berakhir pada Oktober tanpa kesepakatan antara para pihak untuk memperpanjangnya.
Gerald Feierstein, mantan duta besar AS untuk Yaman, mengatakan Riyadh "tidak akan setuju dengan ini tanpa mendapatkan sesuatu, apakah itu Yaman atau sesuatu yang lain yang lebih sulit dilihat."
Keterlibatan Beijing bagaimanapun diyakini menambah persepsi tentang kekuatan dan pengaruh Cina yang tumbuh. Itu juga mengebangkan narasi tentang kehadiran global AS yang menyusut.
"Pesan yang tidak terlalu halus yang dikirim Cina adalah bahwa sementara Amerika Serikat adalah kekuatan militer yang lebih besar di Teluk, Cina adalah kekuatan diplomatik yang kuat dan bisa dibilang meningkat," kata kata Jon Alterman, dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional Washington.