TEMPO.CO, Jakarta - Pucuk pemimpin di badan intelijen Amerika Serikat menduga Cina akan memperdalam kerja sama dengan Rusia untuk mencoba menantang Washington. Ikatan itu (Cina dan Rusia) dianggap tak akan terdampak meskipun ada kecaman internasional atas invasi ke Ukraina.
Sorotan atas hubungan Cina - Rusia itu disampaikan pada Rabu, 8 Maret, saat Komite Intelijen Senat mengadakan rapat dengar pendapat tahunan membahas ancaman di seluruh dunia terhadap keamanan Amerika Serikat. Badan intelijen Amerika Serikat pun merilis soal penilaian ancaman tersebut.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping di Belt and Roadl Forum di Beijing, Cina pada 15 Mei 2019.
Laporan tersebut sebagian besar berfokus pada ancaman dari Cina dan Rusia. Intelijen Amerika Serikat menilai Cina akan terus mengintimidasi saingannya di Laut Cina Selatan dan akan mulai melakukan pembangun seperti lebih banyak akses penyeberangan Selat Taiwan atau penerbangan rudal ke Taiwan.
“Mungkin tidak perlu dikatakan, Cina yang semakin menantang Amerika Serikat secara ekonomi, teknologi, politik, dan militer, di seluruh dunia tetap menjadi prioritas kami yang tak tertandingi,” kata Direktur Intelijen Nasional Avril Haines, yang juga penasihat intelijen utama untuk Presiden Joe Biden.
Menurut Haines, demi memenuhi visi Presiden Cina Xi Jinping yang ingin menjadikan negaranya sebagai kekuatan utama, Partai Komunis Cina (PKC) semakin yakin bahwa hal itu hanya dapat dilakukan dengan mengorbankan kekuatan dan pengaruh Amerika Serikat.
Alan tetapi, dia mengatakan intelijen AS menilai Beijing yakin mendapat manfaat dari hubungan yang stabil, meskipun kritik tajam Xi baru-baru ini terhadap Amerika Serikat.
Xi menyalahkan negara-negara barat atas kesulitan ekonomi Cina dalam pidato pada Senin, 6 Maret 2023. Dia menuduh Amerika Serikat memimpin upaya internasional untuk menahan Cina.
Selama rapat, anggota senat Angus King, yang juga seorang independen dan berkaukus dengan Demokrat, menanyakan pandangan Haines tentang hubungan Beijing dengan Moskow.
"Apakah ini pernikahan sementara untuk kenyamanan atau hubungan cinta jangka panjang?" katanya bertanya.
Haines menyatakan hubungan kedua negara semakin dalam, walau dia ragu menyebut hubungan Beijing-Moskow sebagai hubungan cinta.
“Ada beberapa batasan yang akan kami lihat di mana mereka akan pergi dalam kemitraan itu. Kami tidak melihat mereka menjadi sekutu seperti kami dengan sekutu di NATO, namun demikian, kami melihat peningkatan (kerja sama) di setiap sektor,” kata Haines.
Laporan itu menyebut Rusia mungkin tidak mencari konflik dengan Amerika Serikat dan NATO, tetapi perang Ukraina membawa risiko besar dari itu dan kemungkinan ada potensi nyata kegagalan militer Rusia di Ukraina untuk melukai posisi domestik Presiden Rusia Vladimir Putin, yang meningkatkan potensi eskalasi.
Haines menggambarkan perang Ukraina sangat keras. Menurutnya, intelijen Amerika Serikat tidak memperkirakan militer Rusia bisa pulih tahun ini untuk membuat keuntungan teritorial yang besar.
Beijing dan Moskow mendeklarasikan kemitraan tanpa batas, sebulan sebelum Rusia menginvasi Ukraina. Walau dalam beberapa waktu terakhir menyerukan perlu ada perundingan damai, Cina menolak untuk mengecam invasi Rusia ke Ukraina.
Cina, yang menolak menyebut Rusia sebagai agresor dalam konflik Ukraina, sering mengkritik Amerika Serikat karena mengintimidasi negara lain dengan sanksi sepihak.
REUTERS
Pilihan Editor: Pejabat Pajak Rafael Alun Trisambodo Mundur, ICW: Sebaiknya Kemenkeu Menolak
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.