TEMPO.CO, Jakarta - Keberhasilan mengangkat sejumlah korban selamat dari reruntuhan bangunan yang hancur karena gempa Turki, Jumat, 10 Februari 2023, membuat tim penolong kembali bersemangat. Namun korban jiwa dalam bencana dahsyat ini sudah mencapai 21 ribu di Turki dan Suriah.
Sementara para penyintas bencana juga menghadapi masalah yang tak kalah berat: cuaca dingin, kelaparan, dan keputusasaan mencengkeram ratusan ribu orang yang kehilangan tempat tinggal. Ini merupakan gempa paling mematikan di kawasan itu dalam beberapa dekade.
Sejumlah korban bisa diselamatkan dari puing-puing bangunan pada Kamis malam, termasuk seorang anak laki-laki berusia 10 tahun yang diselamatkan bersama ibunya setelah 90 jam terkurung di distrik Samandag provinsi Hatay di selatan Turki.
Juga di Hatay, seorang gadis berusia tujuh tahun bernama Asya Donmez diselamatkan setelah 95 jam terhimpit reruntuhan dan dibawa ke rumah sakit, lapor kantor berita milik pemerintah Anadolu. Di Diyarbakir di timur, Sebahat Varli, 32, dan putranya Serhat diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit pada Jumat pagi, 100 jam setelah gempa pertama.
Korban tewas akibat gempa berkekuatan 7,8 dan beberapa gempa susulan di kedua negara telah melewati jumlah korban gempa 1999 yang merenggut lebih dari 17.000 di Turki barat laut.
Gempa 2023 ini sekarang menempati peringkat ketujuh sebagai bencana alam paling mematikan abad ini, mendahului gempa dan tsunami Jepang tahun 2011 dan mendekati 31.000 orang yang tewas akibat gempa di negara tetangga Iran pada 2003.
Bencana tersebut menimbulkan keraguan apakah pemilu Turki 14 Mei akan berjalan tepat waktu. Seorang pejabat Turki mengatakan gempa menimbulkan "kesulitan yang sangat serius" untuk menggelar pemungutan suara, di mana Presiden Tayyip Erdogan diperkirakan akan menghadapi tantangan terberatnya dalam dua dekade berkuasa.
Dengan kemarahan yang membara atas keterlambatan pengiriman bantuan dan upaya penyelamatan, bencana tersebut kemungkinan besar akan mempengaruhi perolehan suara Erdogan jika terus berlanjut.
Bantuan PBB mulai mengalir ke Suriah barat laut yang dikuasai pemberontak dari Turki pada hari Kamis, setelah saluran bantuan penting bagi sekitar 4 juta orang terputus akibat gempa.
Namun upaya bantuan di Suriah diperumit oleh perang saudara selama 11 tahun yang telah memecah belah negara itu. Amerika Serikat mendesak pemerintah Presiden Bashar al-Assad untuk segera mengizinkan bantuan melalui semua penyeberangan perbatasan.
Di provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak Suriah, Munira Mohammad, seorang ibu dari empat anak yang mengungsi dari Aleppo setelah gempa, mengatakan, "Semua anak-anak di sini, dan kami membutuhkan pemanas dan persediaan. Tadi malam kami tidak bisa tidur karena sangat dingin."
Banyak orang mengungsi di supermarket, tempat parkir mobil, masjid, pinggir jalan atau di tengah reruntuhan.
Para penyintas seringkali sangat membutuhkan makanan, air, dan pemanas. Toilet jarang tersedia di daerah-daerah yang terkena dampak paling parah. Sekitar 40% bangunan di kota Kahramanmaras Turki, pusat gempa utama hari Senin, rusak, menurut laporan Universitas Bogazici Turki.
Pilihan editor: Gempa Turki, Satu WNI Masih Hilang Kontak
REUTERS