TEMPO.CO, Jakarta -Pertemuan Presiden Volodymyr Zelensky dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington pada Rabu, 21 Desember 2022, menandai titik tertinggi dalam hubungan antara Ukraina dan sekutu terpentingnya.
Baca juga: Biden Terima Medali Militer dari Zelensky Titipan Kapten Unit HIMARS
Anjangsana Zelensky ke Negeri Abang Sam menyoroti hubungan kedua negara yang diperkuat oleh invasi Rusia, walau tak berjalan mulus.
Kunjungan tersebut merupakan perjalanan pertama Zelensky ke luar Ukraina sejak perang dimulai. Kepercayaan antara kedua negara juga ditunjukkan, selain pertemuan di Gedung Putih, Zelensky melakukan lawatan ke Kongres dan memohon lebih banyak senjata untuk Kyiv.
Ketegangan antara para pemimpin telah terlihat di beberapa momen penting selama setahun terakhir. Baru-baru ini Biden membantah komentar Zelensky bahwa rudal yang mendarat di Polandia bulan lalu bukan berasal dari Ukraina, dengan terus terang mengatakan kepada wartawan, "Itu bukan buktinya."
Saat Amerika Serikat memperingatkan pada Januari lalu bahwa Moskow mengumpulkan puluhan ribu tentara untuk menyerang, Zelensky menuduh Washington dan media memicu kepanikan yang membebani ekonomi sementara "tidak ada tank di jalanan". Sebulan kemudian, Rusia menginvasi Ukraina.
Kekuatan Barat sejak itu telah melangkah untuk memasok Ukraina dengan senjata dan bantuan, mengambil jutaan pengungsi dan menjatuhkan sanksi berat pada Rusia. Namun, Zelensky terus mendorong lebih banyak lagi peralatan pertahanan, termasuk zona larangan terbang yang ditolak pada Maret oleh NATO.
"Ada KTT NATO, KTT yang lemah, KTT yang membingungkan, KTT di mana jelas bahwa tidak semua orang menganggap pertempuran untuk kebebasan Eropa sebagai tujuan nomor satu," kata Zelensky saat itu.
Kemudian pada Juni, Zelensky memuji KTT NATO di Madrid, yang membuka jalan bagi Finlandia dan Swedia untuk bergabung dengan aliansi tersebut. Dia sendiri menuntut lebih banyak dukungan militer dan sikap yang lebih keras terhadap Rusia.
"Kami membutuhkan jaminan keamanan, dan Anda harus menemukan tempat untuk Ukraina di ruang keamanan bersama."
Keanggotaan NATO untuk Ukraina memang telah menjadi pertanyaan yang berkepanjangan dan kontroversial. Zelensky telah mendesak aliansi militer untuk mengakui negaranya ke dalam kelompok tersebut.
Ukraina memiliki janji dari NATO sejak 2008, ketika Biden menjadi wakil presiden di bawah Barack Obama, bahwa pada akhirnya Kyiv akan diberi kesempatan untuk bergabung.
Aliansi tersebut belum memproses aplikasi Ukraina. Pada November, NATO menegaskan kembali keputusan 2008 itu, tetapi sekali lagi tidak memberikan langkah atau jadwal khusus.
Direktur International Crisis Group PBB Richard Gowa mengatakan, gesekan tidak dapat dihindari bahkan di antara sekutu dekat di masa perang. AS dan Inggris memiliki perselisihan besar tentang bagaimana melawan Perang Dunia Kedua.
"Jadi saya tidak berpikir kita harus membiarkan gesekan sehari-hari mengaburkan seberapa banyak bantuan yang telah AS berikan kepada Ukraina," kata Gowan.
Amerika Serikat mengumumkan tambahan bantuan militer senilai US$1,85 miliar atau sekitar Rp28,8 triliun untuk Ukraina, termasuk sistem pertahanan udara Patriot untuk membantunya menangkal rentetan rudal Rusia saat kunjungan Presiden Ukraina ke Washington.
Zelensky mengatakan sistem Patriot merupakan langkah penting dalam menciptakan perisai udara.
Kongres hampir menyetujui tambahan US$44,9 miliar bantuan militer dan ekonomi darurat. Sejauh ini Amerika Serikat sudah mengirim US$50 miliar ke Ukraina, yang dilanda konflik terbesar di Eropa sejak Perang Dunia Kedua. Zelensky sendiri berharap dukungan AS berlanjut pada 2023.
"Uang Anda bukan amal. Ini adalah investasi dalam keamanan global dan demokrasi yang kami tangani dengan cara yang paling bertanggung jawab," kata Zelensky berbicara dalam bahasa Inggris dalam sesi bersama Senat dan Dewan Perwakilan AS, Rabu, 21 Desember 2022, tak lama setelah pertemuan dengan Biden.
Baca juga: Agenda Zelensky Beberapa Jam di AS: Bertemu Biden dan Bicara di Kongres
REUTERS