TEMPO.CO, Jakarta - Prancis seperti terbelah dua menjelang pertandingan semifinal Piala Dunia antara tim Les Bleus menghadapi Maroko, Kamis dini hari WIB, 15 Desember 2022.
Hal itu dirasakan oleh Hichem Sayadi, seorang warga pinggiran Paris, tempat pelatih Maroko Walid Reragui mulai bermain sepak bola. Pemuda berusia 29 tahun itu mengatakan, dia pada akhirnya akan mendukung Maroko.
"(Reragui) berasal dari sekitar sini, dia telah bermain di mana kami bermain, dan juga itu adalah tim Afrika ... ini bersejarah," kata Sayadi, yang merupakan keturunan Prancis-Aljazair, menambahkan bahwa "saya serasa mati karena harus melawan Kylian (Mbappe)."
Reragui, 47 tahun, yang ditunjuk sebagai pelatih tim nasional Maroko tahun ini, memulai perjalanan sepak bolanya di Corbeil-Essonnes, sekitar 30 km dari ibu kota Prancis, tempat ia dibesarkan.
Dia bermain untuk tim Prancis, termasuk AC Ajaccio, Dijon dan Grenoble, serta untuk Maroko dari 2001-09.
Di Piala Dunia Qatar, Maroko mengalahkan Belgia untuk memuncaki grup mereka sebelum mengalahkan Spanyol dan Portugal untuk menjadi tim Afrika dan Arab pertama yang mencapai empat besar dalam pesta olahraga paling meriah ini
Di lingkungan Reragui di Montconseil, blok menara mengelilingi gedung olahraga dan pusat komersial. Penduduk, kebanyakan berasal dari Afrika, mengatakan "hati mereka berayun" dan mereka duduk "di antara dua kursi" saat pertandingan semifinal menampilkan banyak identitas dan kesetiaan olahraga.
Rekan satu tim dan sahabat akan saling berhadapan di lapangan, termasuk Mbappe dan Achraf Hakimi yang sama-sama bermain untuk Paris St Germain. Reragui bermain bersama striker Prancis Olivier Giroud untuk Grenoble pada 2008.
Ada rasa ganti rugi historis dalam perjalanan Maroko di mana mereka telah menyingkirkan kekuatan kolonial sebelumnya dari turnamen. Di babak 16 besar mereka mengalahkan Spanyol, yang menjajah sebagian negara itu pada abad ke-20 dan masih menguasai daerah kantong Ceuta dan Melilla, dan sekarang menghadapi Prancis, yang menjajah Maroko hingga 1956.
Reragui tetap fokus pada olahraga. "Saya berkewarganegaraan ganda. Merupakan suatu kehormatan dan kesenangan untuk bermain melawan Prancis tetapi ini hanya sepak bola ... Saya di sini sebagai pelatih sepak bola dan yang menarik minat saya adalah untuk menang," katanya pada konferensi pers di Qatar, Selasa, menjelang pertandingan.
Mereka yang mengenal Reragui sebagai seorang anak di Corbeil-Essonnes mengatakan dia terus-menerus bermain sepak bola, naik kereta ke pertandingan dan meskipun dia bukan yang terbaik di antara teman-temannya, dia yang paling semangat.
Ketika dia mulai bermain sepak bola profesional dengan Ajaccio dan Dijon, Reragui akan membawa remaja dari lingkungan sekitar ke klub, termasuk Sayadi ketika dia masih berusia sekitar 14 tahun.
Reragui melanjutkan tradisi ini di Qatar dengan menerbangkan ibunya dan beberapa teman dekatnya ke Doha.
Moussa Jagne, seorang pencari bakat sepak bola, yakin kemenangan Maroko akan memberi anak muda dari daerah tersebut kepercayaan diri untuk mengejar ambisi mereka.
"Ada klise tentang lingkungan (seperti kita), sering dibicarakan buruk, sekarang bagus untuk berbicara tentang kesuksesan - seperti dalam hubungannya dengan Walid," katanya.
Jadi Uji Kesetiaan bagi Warga Keturunan?
Di Prancis, di mana sayap kanan semakin kuat, subjek identitas telah menjadi titik nyala politik, dan pertandingan Maroko-Prancis telah menjadi "ujian kesetiaan" bagi warga Prancis ketutunan imigran, kata Rim-Sarah Alouane, seorang peneliti hukum tentang diskriminasi dan kebebasan sipil di Universitas Toulouse.
"(Politisi sayap kanan) tidak menerima bahwa Prancis telah berevolusi dan bahwa ada generasi baru yang percaya diri dengan banyak identitas mereka," katanya.
Menyusul kemenangan perempat final Prancis dan Maroko, Eric Zemmour, politisi sayap kanan yang memenangkan 7% pada putaran pertama pemilihan presiden tahun ini, mengatakan bahwa "satu tidak bisa untuk satu dan untuk yang lain".
Faycil Achouche, pelayan berusia 20 tahun dari Montconseil, tidak melihat kontradiksi. Dia mengatakan dia telah mendukung Prancis melalui begitu banyak turnamen dan dia sekarang ingin bersorak untuk negaranya yang lain, Maroko.
"Saya sudah tahu emosi melihat Prancis menang, sekarang Maroko ada di Piala Dunia, kita bisa mencampuradukkan," katanya.
REUTERS