Muhammad ibn Saud memerintah atas wilayah al-Diriya, hari ini di pinggiran Riyadh, sekitar waktu ketika Muhammad ibn Abd al-Wahhab tidak berhasil berkhotbah di Mekah dan di tempat lain di Timur Tengah. Pada 1744, melarikan diri dari Medina, Abd Al-Wahhab tiba di al-Diriya dan mencari perlindungan dari ibn Saud. Keduanya membentuk aliansi yang membagi kekuasaan dan tanggung jawab: ibn Saud berkuasa atas urusan militer dan politik dan Abd al-Wahab atas urusan agama. Berbekal legitimasi agama, ibn Saud memperluas kekuasaannya di luar al-Diriya, mendirikan negara Saudi pertama.
Meninggalnya Abd al-Wahhab tidak berdampak pada pengaturan pembagian kekuasaan yang telah dipadatkan semasa hidupnya. Keturunan Abd al-Wahhab (keluarga Syekh) tetap bertanggung jawab atas urusan agama di bawah pemerintahan Saudi. Sampai hari ini, mereka melegitimasi kekuatan politik House of Saud dengan menyetujui suksesi dan mendukung keputusan raja. Sebagai gantinya, keluarga Sheikh menikmati posisi istimewa dalam struktur negara dan memainkan peran kunci dalam Komite untuk Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Urusan Islam.
Putra Mahkota Mohammed Bin Salman menekankan posisi Kerajaan Saudi sehubungan dengan Wahhabisme serta pendekatannya yang toleran dan fleksibel terhadap populasi Sunni dan Syiah. Dalam wawancaranya dengan majalah Amerika "The Atlantic," dia menegaskan kembali bahwa Ibn Abdul Wahhab bukan Arab Saudi.
“Saya akan mengatakan bahwa Muhammad Ibn Abdul Wahhab bukanlah seorang nabi, dia bukanlah seorang malaikat. Dia hanyalah seorang cendekiawan seperti banyak cendekiawan lain yang hidup selama negara Saudi pertama, di antara banyak pemimpin politik dan pemimpin militer," kata Pangeran MbS seperti dikutip dari Saudi Gazette.
Sementara ajaran Wahabi mendapatkan legitimasi di Arab Saudi dan sejumlah negara-negara Monarki Teluk lain, penyebarannya hampir ada di seluruh penjuru dunia, dari mulai negara-negara Barat hingga Afrika. Profesor Politik Fred R. von der Mehden dalam artikel berjudul 'Saudi Religious Influence in Indonesia' yang diterbitkan pada 2014 di laman MEI@75, menulis, sejak 1980, pemerintah, individu, dan yayasan dan badan amal Saudi telah mendedikasikan jutaan dolar untuk mengekspor Salafisme ke Indonesia.
Di Libya dan Mali, kaum Salafi radikal dilaporkan pernah menghancurkan kuil-kuil kuno yang dibangun oleh kelompok-kelompok yang lebih moderat, seperti Muslim Sufi. Ekstremis serupa di Tunisia telah mencoba untuk membungkam media sekuler dan menghancurkan karya seni yang “sesat”. Dan kehadiran unit tempur Salafi di Suriah sebagian besar telah didokumentasikan.
Pertentangan Wahabi
Kecaman terhadap Wahabi datang dari kelompok Islam yang berseberangan dalam ajaran, seperti syiah. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei pada September 2016 merespons keras setelah Pemerintah Saudi melarang peziarah Iran untuk naik haji, dengan mengungkit perselisihan ekstrem keduanya.
Iran juga menuduh Arab Saudi lalai dalam mengelola haji, yang menyebabkan kematian lebih dari 760 orang dan melukai sekitar 1.000 orang pada tahun 2015.
Khamenei menggambarkan keluarga penguasa Saudi sebagai “pohon jahat terkutuk.” Dia mengatakan bahwa mereka telah menyimpang dari dunia Muslim dan Islam dan telah bersekutu dengan musuh-musuh Islam yang harus dihalangi dan yang agresinya terhadap Muslim dan Islam harus dihentikan.
Menanggapi itu, Sheikh Abdulaziz Al Sheikh, mufti besar Saudi dan kepala Dewan Cendekiawan Senior, kepada surat kabar Makkah, mengatakan, “Kita harus memahami bahwa mereka bukan Muslim. Mereka adalah Majus (Zoroastrian), dan permusuhan mereka terhadap Muslim — khususnya komunitas Sunni — sudah berlangsung lama.”
Menteri Luar Negeri Iran saat itu, Mohammad Javad Zarif, membalas Sheikh di halaman Twitter resminya, menulis, “Memang; tidak ada kemiripan antara Islam orang Iran & kebanyakan Muslim & ekstremisme fanatik yang dikhotbahkan oleh ulama terkemuka wahhabi & ahli teror Saudi.”
Kecaman atas ajaran Wahabi juga tidak hanya muncul dari syiah, namun sesama sunni. Sebuah konferensi Islam diadakan 25-27 Agustus 2016 di ibukota Chechnya, Grozny, dan para ulama senior dari berbagai sekolah Sunni hadir. Pertemuan itu disponsori oleh Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov. Konferensi tersebut bertujuan untuk memperkenalkan “identitas Sunni” dan menentukan penganutnya.