TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, menyarankan supaya konferensi tingkat tinggi G20 di Bali menjadi forum perundingan untuk menyelamatkan dunia. SBY menyoroti paling tidak masalah global utama saat ini ada dua yakni potensi resesi ekonomi serta perang Rusia Ukraina.
Baca: Diserang Ukraina, Putin: Rusia Tidak Akan Tinggal Diam
"Wahai para pemimpin dunia, termasuk PBB, bertindaklah secara nyata, do something concretely untuk selamatkan dunia kita. 'Inaction is immoral'. Gunakan Forum G20 di Bali to save our world, to save our planet. Turunkan ego masing-masing. Negosiasi dan perundingan adalah jawaban," kata SBY dalam pernyataan yang dia bagikan melalui Twitter, Selasa, 11 Oktober 2022.
Indonesia saat ini memegang keketuaan G20. Pertemuan puncak G20 dengan format tatap muka akan diadakan di Bali pada 15 dan 16 November 2022. Fokus presidensi Indonesia tahun ini adalah pemulihan ekonomi global pasca-pandemi. Namun pertemuan kepala negara-negara anggota G20 kali ini dibayangi oleh krisis global di sektor pangan dan energi, yang dipicu oleh perang Ukraina.
SBY dalam cuitannya menyebut, resesi ekonomi global pasti makin memukul kehidupan semua bangsa, yang saat ini sudah dalam keadaan susah, jika perang di Ukraina makin liar dan tidak terkendali. "Terjadinya perang dunia disertai penggunaan senjata nuklir bisa menjadi kenyataan," kata SBY.
Eks Presiden RI itu lebih lanjut memperingatkan dampak buruk resesi dan perang yang meluas antara Rusia dan Amerika Serikat. Menurutnya, di tengah pandemi berlangsung, dunia dapat dihantam tiga krisis seperti keamanan, lingkungan, dan ekonomi, jika tidak ada yang berani mengupayakan damai.
Sikap RI terhadap Perang Ukraina
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan presidensi G20 yang diemban oleh Indonesia pada tahun ini adalah yang paling sulit. Penyebabnya adalah tegangan geopolitik yang diakibatkan oleh invasi Rusia ke Ukraina.
Retno mengatakan tantangan global sudah sangat berat saat Indonesia mendapat kepercayaan sebagai presidensi G20 dalam bentuk pandemi dan keterpurukan ekonomi. Namun perang di Ukraina yang meletus pada Februari 2022 memberikan permasalahan baru.
"Perang di Ukraina menambah kompleksitas permasalahan dunia, berdampak pada interaksi antar negara termasuk di antara negara-negara anggota G20 dan disitulah kita melihat bahwa dunia semakin terpecah belah," kata Retno di Seminar PPRA 64 Lemhannas RI pada Selasa, 11 Oktober 2022.
Deklarasi pencaplokan empat wilayah Ukraina oleh Rusia pekan lalu memanaskan ketegangan dua negara yang sama-sama bekas Uni Soviet itu. Tak lama setelahnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengumumkan pengajuan jalur cepat keanggotaan blok militer Barat, NATO.
Pertempuran Rusia dan Ukraina meningkat awal pekan ini. Rusia melancarkan serangan udara besar-besaran termasuk ke ibukota Kyiv beberapan hari setelah ledakan besar terjadi di jembatan penghubung Rusia-Krimea.
Retno dalam pidatonya di Lemhannas menggarisbawahi kompleksitas perang di Ukraina. RI, menurut Retno, terus berupaya membangun jembatan dari perbedaan pandangan yang ada, termasuk dengan kunjungan Presiden Jokowi ke Moskow dan Kyiv beberapa bulan lalu. Sebuah upaya diplomatik yang sama juga dilakukan oleh PBB dan Turki.
"Hasilnya? belum kelihatan. Kenapa belum kelihatan? karena appetite untuk menyelesaikan masalah masih sangat rendah. Kedua pihak yang terkait masih mengedepankan pendekatan yang bukan perdamaian," kata Retno.
Menyikapi perang di Ukraina, Retno menegaskan, posisi Indonesia menyerukan setiap negara wajib menghormati kedaulatan dan integritas wilayah negara lain. RI juga konsisten bersikap bahwa konflik harus diselesaikan secara damai di meja perundingan dan bukan di medan perang.
"Sampai kapan perang akan berlangsung? kapan akan berakhir? to be honest with you, kita tidak tahu kapan perang dapat selesai dan sepanjang perang terus berlangsung dampaknya pun akan sangat dirasakan terutama oleh negara berkembang," kata Retno.
Di tengah permasalahan yang ada, Retno masih yakin, Indonesia dapat meraih kerja sama konkret di antara negara-negara G20 sebagai hasil presidensinya. Mengenai perbedaan yang ada, Indonesia masih terus menegosiasikannya."Dalam kondisi normal saja negosiasi G20 tidak pernah mudah, dan ibu bapak bisa membayangkan dalam situasi seperti ini. Bagaimana negosiasinya sangat sulit," kata Retno.
Baca: Belarus Kirim Pasukan Bantu Rusia, Siap Perang dengan Ukraina
DANIEL AHMAD