3. Absen di Sidang Umum PBB, Jokowi Kehilangan Momentum Internasional?
Ketidakhadiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara langsung ke Sidang Umum PBB tahun ini menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai kiprah Indonesia di kancah global.
Sejak menjabat sebagai Presiden Indonesia, Jokowi sudah 8 kali absen alias tidak pernah menghadiri secara tatap muka perundingan tingkat tinggi itu.
Sidang Umum PBB ke-77 akan dibuka di New York, Amerika Serikat, pada Selasa, 13 September 2022. Rangkaian acaranya dijadwalkan pada 12-27 September 2022.
Sebagai ganti Jokowi, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi akan mewakili Indonesia pada sesi High Level Week (HLW) yang berlangsung pada 20 sampai 26 September 2022.
Pertemuan HLW dalam Sidang Umum PBB merupakan yang pertama sejak pandemi Covid-19 dua tahun lalu. PBB menghendaki perwakilan untuk hadir secara langsung, bukan secara virtual atau video pra-rekam yang diserahkan kepada panitia.
Ahli Politik Internasional, Fitriani, menilai mangkirnya Jokowi kali ini membuat Indonesia kehilangan dua hal.
Pertama, kesempatan untuk mengkomunikasikan bahwa Indonesia mampu menjadi pemimpin dunia karena memiliki pemimpin yang bervisi dan mumpuni.
Kedua, kesempatan membangun kedekatan dengan negara-negara lainnya yang berada dalam posisi yang sama dalam menghadapi kondisi dunia yang tidak menentu karena krisis alam, krisis pangan, pandemi, dan konflik.
"Siapa yang mengukur seberapa penting representasi pemimpin negara untuk hadir? Kalau Presiden Joko Widodo tidak hadir, maka beliau mungkin berpandangan bahwa kehadiran pemimpin negara tidak penting dalam Sidang Umum PBB," kata Fitriani, peneliti CSIS dari bagian politik dan hubungan internasional, kepada Tempo, Senin malam.
Sementara pemimpin negara lain yang hadir, ujar dia, mungkin berpikir bahwa PBB adalah suatu badan internasional yang signifikan dan penting dalam menciptakan serta mempertahankan perdamaian dunia.
Fitriani menyinggung, negara seperti Palestina menganggap pertemuan ini sangat penting sebab tujuannya untuk pengakuan dari komunitas internasional.
Sedangkan, negara-negara yang mendapat tekanan seperti Rusia dan China memilih untuk tidak hadir karena tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Baca di sini selengkapnya.