TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Thailand menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada seorang aktivis pada Senin, 12 September 2022. Menurut pengacaranya, dia dituduh menghina monarki karena berpakaian seperti Ratu Suthida selama protes jalanan. Pengadilan memutuskan aksi tersebut menghina keluarga kerajaan.
Mencemarkan nama baik atau menghina raja, ratu, pewaris atau bupati adalah kejahatan di Thailand. Pelakunya terancam hukuman hingga 15 tahun penjara di bawah hukum "lese majeste" yang paling ketat di dunia.
Aktivis bernama Jatuporn "New" Saeoueng, 25, dinyatakan bersalah karena sengaja mengejek monarki selama protes jalanan Bangkok pada 2020, menurut pengacaranya Krisadang Nutcharat. Dia adalah salah satu dari sedikitnya 210 aktivis yang telah didakwa mengina kerajaan dalam dua tahun terakhir.
Para pemrotes menyerukan reformasi monarki di Thailand, menurut kelompok bantuan hukum Pengacara Hak Asasi Manusia. Lembaga ini melacak kasus-kasus seperti itu yang pelakunya telah ditangkap polisi dan pengadilan.
Istana telah berulang kali menolak mengomentari protes. Raja yang berkuasa Raja Maha Vajiralongkorn pada November 2020 hanya berkomntar pendek ketika ditanya oleh Channel 4 News Inggris tentang para pengunjuk rasa. "Kami mencintai mereka semua sama," ujarnya saat itu.
Pada Oktober 2020, Jaturporn berjalan di karpet merah saat melakukan protes dengan mengenakan gaun sutra merah muda tradisional dengan dinaungi payung oleh seorang petugas. Sementara pengunjuk rasa duduk di tanah seperti cara budaya tradisional Thailand di hadapan bangsawan.
Banyak yang menafsirkan tampilan protesnya sebagai penggambaran ratu, yang dinikahi tiga kali oleh Raja Vajiralongkorn beberapa hari sebelum penobatan resminya pada 2019. "Jatuporn telah membantah tuduhan selama ini. Dia mengatakan mengenakan pakaian tradisional Thailand," kata Krisadang.
"Tapi pengadilan melihatnya sebagai ejekan dan fitnah terhadap monarki," katanya. Ia menambahkan bahwa kliennya yang transgender, akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Dia dijatuhi hukuman untuk melayani di penjara wanita.
Pengadilan tidak dapat dihubungi untuk mengkonfirmasi hukuman tersebut. Pengadilan Thailand biasanya tidak mempublikasikan proses hukum.
Pada 2020, protes politik terhadap campur tangan militer dalam pemerintahan berubah menjadi kritik terhadap Raja Vajiralongkorn, 70, yang naik takhta setelah kematian ayahnya. Ayah Vajiralongkorn, adalah Raja Thailand yang dihormati secara luas pada 2016, yang telah memerintah selama 70 tahun.
Para pengunjuk rasa berpendapat bahwa militer telah membenarkan perebutan kekuasaan berulang kali, termasuk kudeta tentara pada 2006 dan 2014. Perebutan kekuasaan diperlukan untuk mempertahankan monarki. Pemerintah dan militer telah membantah tuduhan itu.
Baca: Inilah 8 Negara yang Menganut Sistem Pemerintahan Monarki
REUTERS