TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Sri Lanka mengajukan permohonan agar mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa masuk ke negara itu. Hal ini diungkapkan oleh pemerintah Thailand yang menyatakan telah mengkonfirmasi pihaknya menerima permintaan tersebut.
Gotabaya Rajapaksa dikabarkan akan tiba di Bangkok hari ini, Kamis, 11 Agustus 2022, setelah satu bulan dia menetap di Singapura. Ia kabur usai tersudut oleh gelombang protes akibat krisis ekonomi yang diperburuk oleh rezimnya.
"Pertimbangan itu didasarkan pada hubungan yang sudah terjalin lama dan baik antara kedua negara," kata Tanee Sangrat, Direktur jenderal Departemen Penerangan Thailand, Kementerian Luar Negeri pada Rabu, 10 Agustus 2022, seperti dilansir CNA.
Tanee mengatakan, pemerintahnya tidak menyediakan suaka politik bagi Gotabaya. Namun, sang mantan presiden dapat memasuki Thailand tanpa visa untuk jangka waktu 90 hari, sesuai dengan Perjanjian Pembebasan Visa 2013 antara Thailand dan Sri Lanka.
Secara terpisah, Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha memastikan, Gotabaya Rajapaksa tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik apa pun selama berada di Thailand. "Ini adalah masalah kemanusiaan dan ada kesepakatan bahwa ini adalah tempat tinggal sementara," katanya kepada wartawan, Rabu.
Sebelumnya, Presiden baru Ranil Wickremesinghe menyatakan Gotabaya Rajapaksa tidak akan kembali ke Sri Lanka dalam waktu dekat. Ranil menilai kepulangan eks Presiden Sri Lanka itu dapat mengobarkan ketegangan politik.
"Saya tidak percaya ini saatnya dia kembali," kata Wickremesinghe dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal, dilansir Reuters, Senin, 1 Agustus 2022. "Saya tidak punya indikasi dia akan segera kembali."
Keuangan Sri Lanka lumpuh oleh utang yang menumpuk karena fokus pembangunan besar-besaran pasca-perang saudara yang berakhir di 2009. Pemerintah mengucurkan banyak investasi pada jalan dan pelabuhan.
Selain itu pemotongan pajak yang diberlakukan oleh rezim Presiden Gotabaya Rajapaksa juga membuat ekonomi terpuruk. Utang luar negeri Sri Lanka meroket hingga US$ 51 miliar atau sekitar Rp 757 triliun, termasuk kepada China sebesar US$ 6,5 miliar (Rp 97,7 triliun).
Sri Lanka tidak bisa membayar utang. Sri Lanka juga tidak memiliki uang untuk mengimpor barang-barang pokok. Mereka hampir tidak memiliki sisa dolar untuk mengimpor bahan bakar, yang telah dijatah secara ketat.
Masyarakat Sri Lanka menyalahkan Gotabaya Rajapaksa atas runtuhnya ekonomi yang bergantung pada pariwisata. Krisis ekonomi di Sri Lanka kian parah sejak dihantam pandemi COVID-19.
Sri Lanka telah melakukan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional tentang paket bailout. Pada April, Sri Lanka telah menangguhkan pembayaran utang luar negeri sekitar US$ 12 miliar (Rp 178 triliun) dan memiliki pembayaran hampir US$21 miliar (Rp 312 triliun) yang akan jatuh tempo pada akhir 2025.
Wickremesinghe berharap kesepakatan tingkat staf IMF akan tercapai pada akhir Agustus. Dia menambahkan, Sri Lanka harus mengamankan lebih dari US$ 3 miliar (Rp 44 triliun) dari sumber lain tahun depan untuk mendukung impor penting termasuk bahan bakar, makanan, dan pupuk. Dia juga mengatakan kepada surat kabar itu, Sri Lanka butuh waktu berbulan-bulan untuk melihat peningkatan yang nyata dalam keadaan ekonomi mereka.
Baca: Hanya Berkunjung, Thailand Tegaskan Eks Presiden Sri Lanka Tak Cari Suaka
REUTERS | CHANNEL NEWS ASIA