TEMPO.CO, Jakarta -Asosiasi Studi Media dan Hukum dan media lokal Turki pada Kamis 16 Juni 2022 melaporkan sebanyak 16 jurnalis Kurdi dan pekerja media dipenjara sambil menunggu persidangan. Belasan jurnalis ini ditangkap setelah ditahan pekan lalu dengan tuduhan menyebarkan propaganda teroris.
Mereka telah ditahan selama delapan hari di Kota Diyarbakir di wilayah tenggara Turki, tanpa didakwa secara resmi. Jaksa dua kali meminta perpanjangan waktu untuk mengajukan dakwaan, lapor mereka. Adapun lima jurnalis lain yang ditahan pada 8 Juni tidak dipenjara, menurut kantor berita Demiroren dan media Turki lainnya seperti dilansir Reuters.
Komite Perlindungan Jurnalis melaporkan Turki telah memenjarakan lebih banyak wartawan daripada kebanyakan negara lain selama dekade terakhir. Beberapa kelompok media mengutuk penahanan pekan lalu itu dan menganggapnya "kejam".
Di antara mereka yang ditahan adalah Serdar Altan, wakil ketua Asosiasi Jurnalis Dicle Firat, kepala Jin News Safiye Alagas, dan editor kantor berita Mezopotamya Aziz Oruc.
Polisi di Diyarbakir, kota yang sebagian besar penduduknya adalah orang Kurdi, menahan 21 wartawan atas tuduhan membuat propaganda untuk organisasi teroris atas persiapan tayangan televisi yang disiarkan dari Belgia dan Inggris, kantor berita Demiroren melaporkan.
Polisi Turki pada 8 Juni menggerebek rumah beberapa jurnalis Kurdi yang bekerja untuk Kantor Berita Mezopotamya yang pro-Kurdi, situs web Jin News yang semua jurnalisnya perempuan, sebuah perusahaan produksi bernama Pel, dan Asosiasi Jurnalis Dicle Frat.
Selama penggerebekan, petugas polisi menyita komputer, hard drive, dan peralatan kerja lainnya dari rumah jurnalis dan kantor media.
Demiroren mengutip sumber-sumber kepolisian yang mengatakan polisi sedang menyelidiki "komite pers" kelompok militan Partai Pekerja Kurdistan (PPK). Pengadilan di Diyarbakir menolak berkomentar.
Pada Senin lalu, 837 jurnalis dan 62 organisasi media mengeluarkan pernyataan yang mendukung rekan-rekan mereka yang ditahan. Mereka mengutuk penahanan setelah penggerebekan polisi Turki sebagai "pukulan terhadap kebebasan pers".
Pernyataan itu meminta oposisi Turki --yang mereka katakan "mengaku menjunjung hukum, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan demokrasi"-- untuk menunjukkan solidaritas dengan mereka. Pernyataan itu juga meminta pengadilan "untuk tidak menjadi instrumen anarki dan tirani pemerintah". Pemerintah Presiden Tayyip Erdogan mengatakan pengadilan itu independen.
Turki menempati peringkat 149 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia yang dirilis Reporters Without Borders (RSF). Turki dinilai sebagai negara yang "menggunakan semua kemungkinan cara untuk meredam kritik".
Baca juga: Dituduh Hina Erdogan, Jurnalis Turki Ditahan
SUMBER: REUTERS