TEMPO Interaktif, Perserikatan Bangsa-Bangsa: Kekerasan sistematis mengancam kebebasan pers, tetapi jumlah wartawan yang tewas saat bertugas turun drastis menjadi 41 orang tahun lalu. Hal tersebut terungkap dalam laporan Committee to Protect Journalists bertajuk 'Serangan terhadap Pers', Selasa (10/2).
Dalam laporannya, Committee to Protect Journalists menyebutkan 41 wartawan tewas saat bertugas tahun lalu. Jumlah tersebut berkurang dari 65 wartawan tewas pada 2007. Berkurangnya jumlah wartawan yang gugur saat bertugas terjadi karena membaiknya keamanan di Irak.
Laporan yang juga berisi survei tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah jurnalis yang ditahan menurun dari 127 orang pada 2007 menjadi 125 orang pada 2008.
Cina masih tetap menjadi tempat yang paling sering memenjarakan wartawan selama 10 tahun terakhir. Cina berada di atas Kuba, Eritrea, Burma, dan Uzbekistan.
"Hari ini, ancaman terbesar terhadap kebebasan pers lebih membahayakan ketimbang generasi sebelumnya. Sebab, ancaman itu ingin menciptakan iklim ketakutan dan oto-sensor lewat kekerasan sistematis dan penahanan simbolik yang ditujukan kepada orang-orang yang mempraktekkan jurnalisme sesungguhnya dan independen," ujar Carl Bernstein, mantan wartawan Washington Post yang membongkar skandal Watergate, dalam pendahuluan laporan Committee to Protect Journalists.
Laporan tersebut menemukan bahwa pembunuhan, penculikan, dan penyerangan menyebabkan oto-sensor di Amerika Latin. Sebab, para mafia obat-obatan terlarang di Meksiko, kelompok bandit di Brasil, grup paramiliter di Kolombia, dan kekerasan geng di El Salvador serta Guatemala meneror pers.
AFP| KODRAT SETIAWAN