TEMPO.CO, Jakarta - Singapura menyatakan bahwa keputusan untuk mengeksekusi seorang pengedar narkoba Malaysia, sebagai keputusan yang tepat sesuai hukum dan perundang-undangan.
Pernyataan itu sebagai tanggapan atas kritik internasional terhadap penggunaan hukuman mati pada terpidana, yang disebut-sebut berkebutuhan khusus.
Nagaenthran Dharmalingam, 34 tahun, telah dihukum karena menyelundupkan setidaknya 42 gram heroin ke Singapura, yang memiliki undang-undang narkotika paling keras di dunia.
Dia digantung pada Rabu pagi, 27 April 2022, setelah beberapa tantangan hukum dan permohonan grasi dengan alasan bahwa dia memiliki cacat intelektual, gagal.
Pengacara mengatakan IQ Nagaenthran ditemukan di 69, tingkat yang diakui sebagai cacat intelektual.
Tetapi Biro Narkotika Pusat Singapura mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa tindakannya adalah "keputusan yang disengaja, bertujuan dan diperhitungkan", dan mengulangi temuan pengadilan bahwa "dia tahu apa yang dia lakukan".
Kejaksaan Agung mengatakan dalam sebuah pernyataan terpisah, bahwa Nagaenthran diberikan pengadilan yang adil dan telah "menghabiskan hak bandingnya dan hampir setiap jalan lain di bawah hukum selama sekitar 11 tahun".
Kasus ini menarik perhatian internasional, dengan sekelompok pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa dan miliarder Inggris Richard Branson bergabung dengan aktivis hak asasi manusia untuk mendesak Singapura meringankan hukuman matinya.
Uni Eropa dan Amnesty International juga di antara beberapa suara yang menyebut hukuman itu "tidak manusiawi" dan mendesak Singapura untuk memberlakukan moratorium eksekusi.
Pemerintah Singapura mengatakan hukuman mati adalah pencegah terhadap perdagangan narkoba dan sebagian besar warganya mendukung hukuman mati.
Pengedar narkoba Malaysia lainnya, Datchinamurthy Kataiah, akan dieksekusi pada hari Jumat besok.
Reuters