TEMPO.CO, Jakarta - Marine Le Pen berjanji untuk terus berjuang melawan Emmanuel Macron setelah kalah di pemilihan Presiden Prancis, Minggu, 24 April 2022. Dia kini mengalihkan perhatiannya ke pemilihan parlemen bulan Juni 2022.
Dalam satu dekade ini, ia sukses membawa spektrum politik sayap kanan Prancis dari status pinggiran ke arus utama. Politisi Partai Persatuan Nasional itu mengaku tidak terpengaruh oleh upaya ketiganya yang gagal untuk kursi kepresidenan.
Sejak memimpin partai pada 2011, Le Pen berusaha mengubah partainya, yang dulu bernama Front Nasional, dari citra anti-Semit yang diperoleh di bawah kepemimpinan hampir 40 tahun sang ayah sekaligus mantan presiden, Jean-Marie Le Pen.
Upaya terakhir Le Pen untuk memenangkan kursi kepresidenan sendiri ada di tengah ketidakpastian nasib rakyat Prancis. Misalnya, ada peningkatan biaya hidup, penurunan banyak komunitas pedesaan, dan kekecewaan umum terhadap Presiden Macron.
Menurut perkiraan setelah pemungutan suara ditutup pada hari Minggu, 24 April 2022, situasi tersebut memungkinkan Le Pen mendapatkan antara 42 persen sampai 43 persen suara. Angka itu lebih dari dua kali lipat skor ayahnya, 18 persen pada 20 tahun lalu, ketika dia kalah dari calon konservatif Jacques Chirac di putaran kedua 2002.
Kepada para pendukungnya dalam sebuah pidato, Le Pen tak menyesali kekalahan dan menyebut hasil perjuangannya kali ini sebagai kemenangan dan sumber harapan bagi Prancis. Dia bahkan secara langsung telah mengirim sinyal ke Macron. "Saya akan melanjutkan perjuangan untuk Prancis dan rakyat Prancis," katanya seperti dikutip Reuters, 25 April, 2022.
"Saya khawatir lima tahun ke depan masih ada penghinaan dan kebijakan brutal yang dilakukan Macron selama lima tahun terakhir. Dan dia tidak akan melakukan apa pun untuk memperbaiki perpecahan di negara kita."
Le Pen kemungkinan akan ditantang oleh dua kandidat sayap kanan lain, Eric Zemmour dan keponakannya sendiri, Marion Marechal. Saat pemilihan kandidat presiden, Marechal sendiri membelot ke Zemmour beberapa minggu sebelum pemilihan.
Baik Le Pen maupun Zemmour berbicara tentang kemungkinan koalisi anti-Macron, kekuatan nasionalis yang muncul untuk pemilihan parlemen bulan Juni. Sejauh ini, belum ada pembicaraan siapa yang memimpin aliansi tersebut.
Le Pen telah lama menunjukkan kemampuan untuk menemukan kembali dirinya sendiri. Setelah kekalahan telak dari Macron pada 2017, dia telah melunakkan gaya dan substansinya saat dia berusaha untuk memperluas basis pemilihnya.
Dia telah mengekang beberapa pesan anti-imigran, dengan sumpah kebijakan "France First"-nya untuk melindungi pekerja dari globalisasi.
Menjelang pemilihan ini, jajak pendapat secara konsisten menunjukkan Macron unggul, tetapi kampanye putaran pertama yang cerdas, berfokus pada kesulitan ekonomi, menjadikannya lawan yang lebih dekat daripada yang diinginkan Macron.
Kinerja yang kuat itu dapat membantu memberi partainya sebuah platform untuk meningkatkan keterwakilan parlemennya setelah hanya mendapatkan delapan kursi pada tahun 2017.
Ihwal Le Pen dapat bertahan sampai pemilihan presiden berikutnya pada tahun 2027 masih belum jelas. Akan tetapi, dalam sebuah wawancara dengan Reuters pada bulan Maret dia menolak untuk mengesampingkan pemilihan keempat untuk kursi Istana Elysee.
Reuters