TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung Singapura menolak gugatan tiga aktivis hak gay terhadap undang-undang yang mengkriminalisasi hubungan seks sesama jenis, Senin, 28 Februari 2022.
Pertimbangan pengadilan tertinggi itu, karena pihak berwenang tidak menegakkan hukum tersebut sehingga tidak melanggar hak konstitusional penggugat.
Putusan Pengadilan Banding sebelumnya mengikuti upaya berani menyingkirkan undang-undang era kolonial oleh para aktivis setelah India membatalkan undang-undang serupa empat tahun lalu. Gugatan sebelumnya di Singapura yang secara sosial konservatif pada 2020 dan 2014 juga gagal.
Aktivis yang mengajukan gugatan terbaru terhadap undang-undang yang jarang digunakan, di mana pelanggar dapat dipenjara hingga dua tahun, termasuk seorang pensiunan dokter, seorang DJ dan mantan direktur sebuah kelompok nirlaba.
Dalam putusan tertulis, Ketua Hakim Singapura Sundaresh Menon mengatakan bahwa meskipun undang-undang tersebut, yang dikenal sebagai Bagian 377A, telah "lama menjadi penangkal petir untuk polarisasi", pengadilan tidak menemukan pelanggaran konstitusi.
Undang-undang itu "tidak dapat dilaksanakan" karena pihak berwenang Singapura tidak berencana untuk menuntut pelaku hubungan seks gay dan dengan demikian tidak akan menghilangkan hak seseorang untuk hidup atau kebebasan pribadi berdasarkan Pasal 9 konstitusi Singapura, kata Menon.
Kejaksaan Agung mengatakan penuntutan semacam itu tidak akan menjadi kepentingan publik.
Dalam sebuah pernyataan, firma hukum Eugene Thuraisingam LLP, yang mewakili salah satu aktivis, mengatakan putusan itu "dapat dilihat sebagai langkah kecil ke arah yang benar" setelah pengadilan mencatat undang-undang itu tidak dapat ditegakkan secara hukum.
Téa Braun, kepala eksekutif kelompok hak asasi manusia yang berbasis di London, Human Dignity Trust, mengatakan undang-undang yang dibuat pada tahun 1938 itu, "tidak memiliki tempat dalam demokrasi abad ke-21 seperti Singapura".
Meskipun ancaman penangkapan telah dihapus dan diformalkan oleh pengadilan, "dalam menolak untuk sepenuhnya mencabut hukum yang mengkriminalisasi keintiman sesama jenis, laki-laki gay dan biseksual di Singapura masih merupakan penjahat yang belum ditangkap dan tunduk pada budaya malu dan homofobia", kata Braun.
Hampir 70 negara di seluruh dunia mengkriminalisasi seks gay, terutama di Afrika dan Timur Tengah
Masalah ini tetap sensitif di Singapura, meskipun beberapa jajak pendapat menunjukkan penerimaan yang lebih besar terhadap homoseksualitas.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyebut undang-undang itu sebagai "kompromi yang tidak mudah" karena masyarakat "tidak terlalu liberal dalam masalah ini".
Reuters