TEMPO.CO, Jakarta - Masih belum banyak informasi yang diketahui tentang varian Omicron selain varian COVID-19 ini lebih menular dibanding varian Delta. Tetapi beberapa penelitian awal memberikan gambaran baru tentang Omicron, yang pertama kali dideteksi di Afrika Selatan dan Hong Kong, serta penyakit COVID-19 pada umumnya.
Berikut ini adalah ringkasan dari beberapa penelitian terbaru tentang COVID-19, termasuk penelitian yang memerlukan studi lebih lanjut untuk menguatkan temuan dan yang belum disertifikasi oleh peer review atau tinjauan sejawat, seperti dikutip dari Reuters, 22 Desember 2021.
Infeksi Omicron tidak terlalu parah dibanding varian Delta
Infeksi yang disebabkan oleh varian Omicron dari virus corona tampaknya tidak lebih parah daripada infeksi dari varian Delta, menurut data awal dari Inggris.
Para peneliti di Imperial College London membandingkan 11.329 orang dengan infeksi Omicron yang dikonfirmasi atau kemungkinan dengan hampir 200.000 orang yang terinfeksi varian lain. Sejauh ini, menurut sebuah laporan yang dikeluarkan sebelum tinjauan sejawat dan diperbarui pada Senin, mereka tidak menemukan bukti Omicron memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah daripada varian Delta, dinilai dari proporsi orang yang dites positif yang melaporkan gejala, atau dengan proporsi kasus yang mencari perawatan di rumah sakit setelah infeksi.
Untuk vaksin yang tersedia di Inggris, efektivitas terhadap infeksi Omicron bergejala berkisar dari 0% hingga 20% setelah dua dosis, dan dari 55% hingga 80% setelah dosis penguat atau vaksin booster. Laporan tersebut juga memperkirakan bahwa setelah mempertimbangkan faktor risiko individu, kemungkinan infeksi ulang dengan Omicron adalah 5,4 kali lebih besar daripada infeksi ulang dengan Delta.
Sebuah penelitian terhadap petugas kesehatan di era pra-Omicron memperkirakan bahwa infeksi SARS-CoV-2 sebelumnya memberikan perlindungan 85% terhadap infeksi kedua selama 6 bulan, kata para peneliti, sementara "perlindungan terhadap infeksi ulang oleh Omicron yang diberikan oleh infeksi masa lalu mungkin serendah 19%."
Jumlah dan motilitas sperma lebih rendah setelah terkena COVID-19
Para peneliti menemukan kualitas sperma terganggu selama berbulan-bulan bagi sebagian orang setelah sembuh dari COVID-19.
Sperma itu sendiri tidak menular, menurut para peneliti. Tetapi di antara 35 pria yang memberikan sampel dalam waktu satu bulan setelah pulih dari infeksi simtomatik, penurunan motilitas sperma terbukti pada 60% dan jumlah sperma berkurang pada 37%. Seperti dilansir pada hari Senin di Fertility and Sterility, sampel sperma diperoleh dari 120 pria Belgia dengan usia rata-rata 35 tahun, rata-rata 52 hari setelah gejala COVID-19 mereka sembuh. Di antara 51 pria yang diuji antara satu dan dua bulan setelah sembuh, 37% mengalami penurunan motilitas sperma dan 29% memiliki jumlah sperma yang rendah. Di antara 34 pria yang memberikan sampel sperma setidaknya dua bulan setelah pemulihan, motilitas sperma terganggu pada 28% dan jumlah sperma rendah pada 6%. Tingkat keparahan infeksi COVID-19 tidak berkorelasi dengan karakteristik sperma.
"Pasangan yang ingin hamil harus diperingatkan bahwa kualitas sperma setelah terinfeksi COVID-19 bisa menjadi kurang optimal," kata para peneliti. "Perkiraan waktu pemulihan adalah 3 bulan, tetapi studi lanjutan sedang dilakukan untuk mengonfirmasi hal ini dan untuk menentukan apakah kerusakan permanen terjadi pada sebagian kecil pria."
Molekul penetralisir lebih murah dibuat daripada antibodi
Molekul eksperimental yang menetralkan virus corona dengan cara yang sama seperti antibodi akan lebih murah dan lebih mudah dibuat, kata para peneliti.
Molekul milik kelas senyawa yang dikenal sebagai aptamer. Karena terbuat dari RNA atau DNA, aptamer lebih mudah disintesis daripada antibodi berbasis protein yang hanya dapat diproduksi di sel hidup, kata Julian Valero dari Aarhus University di Denmark. Seperti antibodi, aptamers menempel pada target protein, (dalam hal ini protein lonjakan pada permukaan virus) dengan melipat menjadi konformasi tiga dimensi.
Sebuah studi yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS US) menunjukkan bahwa dalam eksperimen tabung reaksi, aptamer mengikat erat pada lonjakan virus corona, mencegahnya menembus sel manusia. Ini menghambat varian virus sebelumnya, termasuk Delta, kata para peneliti. Mereka merencanakan tes untuk melihat apakah itu juga mengenali dan mengikat ke Omicron.
Penggunaan aptamer pada pasien masih jauh, dengan tes pada tikus baru saja dimulai. Dalam hal penggunaan pada manusia, "kami lebih dekat" untuk dapat menggunakan aptamer untuk membantu mendiagnosis infeksi SARS-CoV-2, kata Jorgen Kjemsa, yang juga dari Universitas Aarhus. Eksperimen yang membandingkan penggunaan aptamer dengan antibodi dalam tes cepat COVID-19 yang banyak digunakan untuk infeksi sedang berlangsung, katanya.
Baca juga: Ilmuwan WHO Peringatkan Omicron Lebih Cepat Menular dari Varian Delta
REUTERS