Toyota Motor Corp, yang pada 2019 mengumumkan rencana membuat truk pikap Hilux di kawasan ekonomi khusus, keluar dari grup Watanabe awal tahun ini. Seorang juru bicara menolak untuk membahas kepergian Toyota, termasuk waktunya. Rencana produksi perusahaan untuk Myanmar telah ditunda sejak kudeta, kata Toyota.
Jaringan hotel Vessel Hotel Development Co dan perusahaan IT Global Innovation Consulting mengatakan kepada Reuters bahwa mereka keluar dari asosiasi setelah kudeta. Vessel mengatakan perusahaan "ingin memangkas biaya," dan Global Innovation Consulting mengatakan keanggotaan tidak menghasilkan "manfaat berkelanjutan" bagi perusahaan.
SPARX Asset Management dan perusahaan kartu kredit JCB International Co mengatakan mereka juga meninggalkan asosiasi awal tahun ini.
Beberapa perusahaan, sementara menjauhkan diri dari militer Myanmar, meski tetap berada di JMA. Di antara mereka, Kirin Holdings yang pada bulan Februari membatalkan aliansi lama dengan konglomerat terkait militer Myanmar setelah protes dari pengamat hak asasi manusia atas kudeta.
Kirin memutuskan untuk mengakhiri kemitraan karena kudeta itu bertentangan dengan kebijakan hak asasi manusianya, kata juru bicara perusahaan, yang menolak mengomentari pernyataan Watanabe.
Suzuki dan Mitsubishi, yang tetap berada di JMA, menolak mengomentari pernyataan Watanabe. Suzuki mengatakan memprioritaskan keselamatan stafnya, sementara Mitsubishi mengatakan hak asasi manusia adalah salah satu faktor yang dipertimbangkannya saat berbisnis.
Masao Imamura, seorang profesor sejarah Asia Tenggara di Universitas Yamagata Jepang, mengatakan Watanabe berpengaruh dalam membingkai kebijakan ekonomi Tokyo di Myanmar dan perusahaan-perusahaan Jepang mengandalkan pengaruh dan aksesnya untuk melakukan bisnis.
“Perusahaan besar Jepang yang aktif di Myanmar telah terikat dengan orang-orang seperti Watanabe terlalu lama dan terlalu dalam, sehingga mereka tidak tahu bagaimana keluar,” kata Imamura, yang merupakan bagian dari koalisi penentang kebijakan JMA di Myanmar awal tahun ini, kepada Reuters.
Mei lalu, sebulan sebelum pertemuan JMA, Yusuke Watanabe, putra Watanabe dan sekretaris jenderal asosiasi, menulis sebuah artikel yang diterbitkan di Diplomat yang mengatakan bahwa Jepang harus bertindak sebagai jembatan menuju junta Myanmar daripada mengikuti kebijakan Barat tentang "perubahan rezim".