Parlemen Cina, Maret lalu, mengumumkan perubahan besar-besaran pada sistem pemilihan Hong Kong, termasuk mengurangi jumlah kursi yang dipilih secara langsung dan membentuk komite pemeriksaan untuk menyaring semua calon potensial, dengan mengatakan hanya "patriot" yang dapat mengelola kota.
Lebih dari sepertiga kursi dewan legislatif akan dipilih oleh komite yang terdiri dari loyalis Beijing.
Tindakan keras yang sedang berlangsung di Hong Kong di bawah undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan Cina juga telah memenjarakan sejumlah tokoh demokrasi, sementara kelompok masyarakat sipil telah dibubarkan.
Tidak seperti pemilihan sebelumnya, kandidat pro-demokrasi sebagian besar tidak ikut, menolak untuk mencalonkan diri, pergi ke pengasingan atau dipenjara. Beberapa aktivis luar negeri dan pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat, mengatakan perubahan pemilihan telah mengurangi perwakilan demokratis di kota itu.
Pihak berwenang China dan Hong Kong menolak kritik semacam itu, dengan mengatakan perubahan pemilihan dan undang-undang keamanan nasional yang mulai berlaku tahun lalu diperlukan untuk meningkatkan tata kelola kota dan memulihkan stabilitas setelah protes 2019.
Dari 153 kandidat yang memperebutkan 90 kursi legislatif, sekitar selusin mengatakan mereka moderat dan tidak bersekutu dengan kubu pro-Beijing atau pro-kemapanan.
Pejabat Hong Kong dan Cina melakukan banyak cara untuk mengajak warga memilih, seperti menggratiskan transportasi publik untuk pemilih ke tempat pemungutan suara.
"Jelas, tujuan pemerintah adalah untuk mengamankan jumlah pemilih yang tinggi. Jika tidak, itu dapat mendelegitimasi pemilihan legislatif ini," kata Jean-Pierre Cabestan, seorang profesor ilmu politik di Universitas Baptis Hong Kong.