TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pasien corona di China menjadi korban perundungan di media sosial. Tak hanya menderita fisik, perundungan membuatnya sakit secara mental.
Di China pendekatan tanpa toleransi masih diterapkan terhadap Covid-19. Seorang ayah, 38 tahun bermarga Lin dan keluarganya termasuk di antara salah satu pasien di China Tenggara yang menjadi sasaran pelecehan baru-baru ini.
Lin baru kembali dari Singapura pada Agustus lalu tempatnya bekerja. Di sana ia diduga menjadi pasien nol dalam wabah terbaru di provinsi Fujian pada September. Identitas Lin sebagai pasien nol covid-19 dipublikasikan di media sosial. Ia pun diintimidasi secara online.
“Seluruh keluarga saya mengalami cyberbullying. Kami menerima pelecehan dan kutukan dari banyak orang, yang menyebabkan teror yang tak tertahankan dan kerusakan mental. Kami tidak bisa hidup seperti orang normal lagi,” tulis Lin dalam unggahan Weibo pada 17 September, seminggu setelah dia dan putranya dinyatakan positif virus corona.
Setibanya di China, Lin telah menjalani isolasi selama 21 hari. Ia juga melakukan serangkaian tes yaitu sembilan tes asam nukleat dan tiga tes antibodi.
Lin hanyalah salah satu dari banyak pasien Covid-19 di China yang menjadi korban bullying secara online setelah data pribadi mereka bocor selama penyelidikan epidemiologi pemerintah.
Dalam beberapa kasus seperti Lin, lebih banyak informasi pasien, seperti alamat dan nomor teleponnya, dipublikasikan secara online. Kebocoroan terjadi baik karena pegawai pemerintah membagikannya di media sosial atau pengguna web membocorkannya menggunakan informasi yang diterbitkan oleh pihak berwenang.
Menurut Profesor Zhu Wei, seorang ahli tata kelola internet di Universitas Ilmu Politik dan Hukum China, di balik perundungan siber yang merajalela terhadap pasien-pasien ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan hukum. Selain itu permusuhan di komunitas online China meningkat.
Undang-undang di China sudah mencakup serangkaian hukuman perdata dan pidana untuk pelanggaran privasi. Orang yang dinyatakan bersalah karena merilis data pribadi, misalnya alamat atau catatan kredit seseorang, dapat didenda atau dipenjara hingga tiga tahun.
Undang-undang yang dirancang untuk melindungi privasi data pengguna online juga akan berlaku mulai November. Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi mengatur bahwa penanganan informasi pribadi harus memiliki tujuan yang jelas dan masuk akal dan harus dibatasi pada “ruang lingkup minimum yang diperlukan untuk mencapai tujuan penanganan” data.
Namun sejauh ini, hanya sedikit yang benar-benar dihukum karena melanggar privasi pasien Covid-19 atau melecehkan mereka secara verbal.
Huang Jing, seorang psikoterapis veteran yang berbasis di Shanghai, mengatakan kekerasan online yang meluas terhadap pasien Covid-19 dapat menyebabkan masalah psikologis yang signifikan.
“Dua hasil yang paling mungkin adalah depresi dan kecemasan. Kemungkinan terburuk adalah beberapa orang mungkin bunuh diri, karena mereka merasa dikucilkan oleh masyarakat,” katanya.
Prevalensi kecemasan dan depresi sudah meningkat di kalangan masyarakat umum sejak Covid-19 menjadi pandemi, menurut sebuah studi oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi.
Sejak Maret 2020 dan seterusnya, jumlah orang yang menderita kecemasan dan depresi berlipat ganda di beberapa negara termasuk AS dan Inggris, katanya dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada Mei.
Huang mengatakan akan ada lebih sedikit intimidasi dunia maya di China ketika populasi internetnya secara keseluruhan mendapat pendidikan yang lebih baik. “Ketika seseorang memiliki kemampuan pemahaman dan kognisi yang lebih baik, dia dapat mengontrol emosinya dengan lebih baik,” katanya.
Baca: Corona di Singapura Capai Rekor Tertinggi, Ruang ICU Mulai Penuh
AFIFA RIZKIA AMANI | SCMP via Yahoo!News