TEMPO.CO, Jakarta - Mal-mal dan restoran di Jepang kemungkinan tak bisa mendapat untung besar setelah perhelatan Olimpiade Tokyo diprediksi bakal digelar tanpa kehadiran penonton dari luar negeri. Kondisi ini bakal menjadi pukulan telak bagi banyak industri di Jepang setelah mereka terseok-seok akibat dampak pandemi virus corona.
Pada tahun-tahun menjelang diselenggarakannya Olimpiade, sejumlah pengembang telah mengucurkan dana investasi miliar-dolar-Amerika ke komplek perbelanjaan dan tempat-tempat makan demi bisa menjamu turis asing. Investasi terbesar dikucurkan salah satunya di distrik Shibuya yang terletak di jantung kota Tokyo.
Akan tetapi, jumlah turis asing ke Jepang anjlok dari 32 juta orang pada 2019 menjadi nyaris nol. Kondisi ini membuat Jepang menghentikan anggaran belanja.
Baca juga: KOI Khawatir All England 2021 Malah Ganggu Persiapan untuk Olimpiade Tokyo
Pengunjung mengunakan masker saat menikmati bunga sakura yang bermekaran di tengah wabah virus corona atau Covid-19 di Ueno park di Tokyo, Jepang, 19 Maret 2020. REUTERS/Issei Kato
Sekarang, Tokyo berencana menutup pintu bagi turis asing yang ingin menonton secara langsung pertandingan – pertandingan olahraga dalam Olimpiade. Itu artinya, sektor jasa yang berharap bisa pulih dari kerugian akibat lockdown harus menelan kekecewaan.
“Ada banyak pembangunan, gedung-gedung baru dibangun. Namun, orang-orang tidak datang sama sekali,” kata Ryota Himeno, analis dari JP Morgan Securities di Jepang.
Pada 2019, ada 8 juta lebih turis asing yang mengunjungi klub-klub dan kafe di kawasan Shibuya. Kepala Distrik Shibuya Ken Hasebe memperkirakan bakal ada 10 juta turis asing yang datang, namun proyeksi itu pupus gara-gara wabah virus corona.
Himeno mengatakan proyeksi tersebut telah membuat para pengembang mengucurkan dana lebih dari USD 2,8 miliar atau Rp 40 triliun ke distrik Shibuya, yang juga menjadi tempat penyelenggaraan Olimpiade 1964.
Ryosuke Toura, pelaku bisnis asal Tokyo mengatakan kondisi keuangan diperkirakan bakal jatuh. Bisnis hotel akan menjadi yang paling terpukul, diikuti sektor jasa kereta api dan retail.
Sumber: Reuters