TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum di Cina dalam tempo 9 bulan sepanjang 2020 telah menyidangkan lebih dari 15 ribu pelaku yang terkait dengan kejahatan satwa liar. Jumlah itu naik 66 persen dibanding 2019.
Kenaikan jumlah kasus yang disidangkan ini terjadi ketika otoritas mulai memberlakukan larangan penjualan satwa liar yang diberlakukan setelah wabah Covid-19 terjadi. Kejaksaan Agung dalam situsnya pada Senin, 9 November 2020 menyebut hampir 7 ribu dari total pelaku yang ditahan terlibat dalam kejahatan pelanggaran menangkap ikan.
Pasar Makanan Laut Huanan Wuhan, tempat asal-usul virus corona, diduga menjual hewan liar termasuk anak serigala, musang, dan bahkan koala.[Mirror.co.uk]
Sekitar 4 ribu orang menjalani proses hukum atas dakwaan perburuan ilegal dan 3 ribu orang dihukum karena telah membeli, membawa dan menjual lagi produk-produk hewan liar yang terancam punah.
Kejaksaan memperingatkan sebagian besar bisnis satwa liar ilegal sudah pindah ke online, di mana para penjual menggunakan platform e-commerce untuk menjual satwa-satwa liar tersebut. Perdagangan hewan-hewan eksotis juga sekarang mengalami tantangan (dalam proses pengungkapannya).
Perdagangan satwa liar di Cina yeng menguntungkan dan tidak diatur dalam aturan yang ketat telah menjadi sorotan pada Januari 2020 setelah wabah virus corona merebak di Ibu Kota Wuhan, Cina. Covid-19 diduga berasal dari sebuah pasar yang menjual produk-produk hewan liar.
Para ilmuwan sangat yakin virus corona berasal dari kelelawar dan bisa menginfeksi manusia lewat perantara, seperti trenggiling yang diduga perantara paling potensial.
Pada Februari 2020, legislatif Cina mengeluarkan sebuah resolusi yang menjanjikan melarang penjualan dan konsumsi daging hewan liar. Namun aturan baru itu memberikan pengecualian untuk bulu dan hewan yang ditujukan sebagai obat dalam pengobatan tradisional Cina.
Sumber: https://in.reuters.com/article/china-environment-wildlife-idINKBN27Q0UB