TEMPO.CO, Jenewa – Perserikatan Bangsa - Bangsa atau PBB mengatakan ada puluhan ribu orang di Filipina yang diduga tewas dalam perang narkoba sejak pertengahan 2006.
Ini melibatkan polisi, yang memiliki impunitas, dan ajakan melakukan tindak kekerasan oleh pejabat tinggi Filipina.
Perang narkoba ini diluncurkan sejak Presiden Rodrigo Duterte memenangi pilpres 2006.
PBB mengatakan ini diwarnai retorika pejabat tingkat tinggi dan perintah polisi, yang bisa diterjemahkan izin untuk membunuh.
“Meskipun ada tuduhan kredibel menyebarnya pembunuhan ekstra-judisial secara sistematis dalam perang narkoba, namun ada impunitas atas pelanggaran seperti itu,” begitu laporan PBB seperti dilansir Channel News Asia pada Kamis, 4 Juni 2020.
Laporan Kantor HAM PBB mengatakan polisi melakukan penggerebekan rumah untuk mencari pemakai dan pengedar narkoba.
Lalu polisi memaksa tersangka untuk membuat pengakuan atau terancam tindak kekerasan.
Baru ada satu putusan pengadilan terkait pembunuhan Kian delos Santos pada 2017.
Siswa berusia 17 tahun di Kota Manila ini tewas di tangan polisi dan terekam kamera CCTV, yang memicu kemarahan publik.
“Situasi Hak Asasi Manusia di Filipina ditandai oleh fokus berlebihan soal ketertiban publik dan keamanan nasional termasuk memerangi terorisme dan narkoba,” begitu pernyataan Kantor HAM PBB.
Ini membuat,”Terjadinya pengorbanan HAM, proses hukum yang benar, penegakan hukum dan pertanggung-jawaban petugas keamanan.”
Laporan ini akan disampaikan kepada Dewan HAM PBB pada Juni 2020.
Temuan PBB ini juga menyatakan mayoritas korban perang narkoba pemerintah Filipina adalah lelaki muda dari komunitas miskin di kawasan perkotaan.
Aktivis HAM dan para pengacara bersiaga pekan ini menyusul adanya legislasi Anti-Terorisme, yang digagas Presiden Rodrigo Duterte. Mereka mengkhawatirkan adanya aturan drakonian yang melanggar HAM masyarakat Filipina.