TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Bolivia Evo Morales akhirnya lengser pada Ahad setelah militer mendesaknya untuk mundur. Morales mengakhiri 14 tahun masa kepresidenan dan mencari suaka politik di Meksiko.
Morales menyebut desakan tersebut sebagai kudeta. Kemudian senator sayap kanan Bolivia, Jeanine Anez, mengklaim diri sebagai presiden sementara, meski kuorum tidak cukup untuk memilihnya sebagai presiden.
Di tengah bentrokan pendukung dan penentang Morales, dan tuduhan bahwa dia mulai menjadi otoriter setelah 14 tahun berkuasa, Morales bagaimanapun mampu mengangkat ekonomi Bolivia dari kemiskinan.
Menurut New York Times, 13 November 2019, Evo Morales adalah seorang anggota masyarakat adat Aymara. Morales dilahirkan di sebuah kota terpencil di Bolivia selatan. Ia menjadi terkenal sebagai pemimpin serikat buruh di antara petani daun koka, mempromosikan hak-hak mayoritas Pribumi Bolivia.
Pembelaannya yang penuh semangat terhadap para petani (dan pertanian daun koka sebagai bagian intrinsik dari budaya Pribumi Bolivia) menyebabkan perselisihan dengan elite politik yang konservatif dan sangat berkulit putih.
Presiden Bolivia Evo Morales berpidato di hadapan para pendukung di La Paz, Bolivia, 5 November 2019. [REUTERS / Manuel Claure / File Photo]
Pada tahun 2006, ia menjadi presiden pribumi pertama Bolivia sejak kemerdekaan negara itu dari Spanyol dua abad lalu. Dia dengan cepat bergerak untuk memberdayakan masyarakat adat, mendistribusikan kembali kekayaan gas alam negara itu dan membawa infrastruktur kepada masyarakat miskin, langkah-langkah yang menjadikannya politisi Bolivia paling populer dalam beberapa dekade.
Mendapat manfaat dari ledakan komoditas di tahun 2000-an, Morales mengubah Bolivia, salah satu negara termiskin di Amerika Selatan, menjadi salah satu ekonomi paling dinamis, mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan. Tidak seperti sekutu sayap kiri dengan pengeluaran tinggi di Venezuela dan Argentina, Morales menggabungkan redistribusi dengan mempertahankan anggaran berimbang dan merayu investor internasional.
Dia dengan mudah memenangkan dua pemilihan ulang, membawa ketertiban politik ke Bolivia, yang telah menderita ketidakstabilan kronis selama beberapa dekade.
Morales telah disebut berjasa dengan secara signifikan mengurangi tingkat kemiskinan Bolivia melalui intervensi negara. Tetapi dia juga dituduh secara bertahap beralih ke otoritarianisme.
Senator Bolivia Jeanine Anez memberi isyarat setelah dia menyatakan dirinya sebagai Presiden sementara Bolivia, di balkon Istana Kepresidenan, di La Paz, Bolivia 12 November 2019.[REUTERS/Henry Romero TPX IMAGES OF THE DAY]
Dikutip dari The Washington Post, pada tahun 2016 ia mengadakan referendum nasional yang akan memungkinkannya untuk mencari masa jabatan keempat - dan kalah. Kemudian dia mendapatkan putusan pengadilan yang memungkinkan dia untuk mencalonkan diri lagi.
Lawan-lawannya menyebut dirnya menyalahgunakan kekuasaan, termasuk menindas pers dan lawan politik, dan terlalu keras menangani pendemo yang dia sebut antipembangunan.
Ketika ia memulai kampanye pemilihan presiden keempatnya tahun ini, jajak pendapat menyimpulkan popularitasnya mulai redup. Ini karena penanganannya yang ceroboh terhadap kebakaran hutan dan penghinaan terhadap prosedur demokratis.
Ketidakpuasan rakyat akhirnya meledak menjadi protes setelah pemungutan suara pada 20 Oktober, ketika para pejabat tiba-tiba berhenti mengeluarkan hasil dan tetap diam selama 24 jam. Ketika penghitungan dilanjutkan, otoritas pemilihan menyatakan bahwa Morales menang langsung.
Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) dan perusahaan yang dikontrak untuk menghitung suara, melaporkan kecurangan dalam pemilu, dan mendesak Bolivia untuk membatalkan hasil dan menyelenggarakan pemilu baru.
Para pengunjuk rasa memenuhi jalan-jalan di sebagian besar kota-kota besar Bolivia, dan demonstrasi melumpuhkan negara itu. Ketika pasukan keamanan Bolivia menolak untuk menghadapi mereka, kekuasaan Evo Morales lengser dan akhirnya mengundurkan diri.