TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan masyarakat Irak memenuhi alun-alun Ibu Kota Baghdad pada Jumat, 1 November 2019. Mereka yang turun ke jalan menuntut seluruh elit politik di Irak turun dari jabatan. Unjuk rasa pada hari itu yang terbesar setelah kejatuhan mantan Presiden Irak, Saddam Hussein.
Dikutip dari reuters.com, gelombang unjuk rasa di penjuru Irak telah menewaskan 250 orang dalam sebulan terakhir dan aksi protes itu dalam beberapa hari terakhir lebih dramatis, dimana semakin banyak massa yang turun ke jalan dari berbagai sekte di Irak dan etnis. Mereka menolak partai – partai politik yang berkuasa di Irak sejak 2003.
Unjuk rasa di Ibu Kota Bagdad, Irak pada Jumat, 1 November 2019. Sumber: MSN.com
Unjuk rasa pada Jumat, 1 November 2019, diikuti oleh ribuan orang yang berkumpul di alun-alun Tahrir, Bagdad. Jumat diidentikkan dengan hari besar umat Islam, dimana semakin banyak orang turun ke jalan setelah solat Jumat.
Sebelumnya pada Kamis malam hingga Jumat pagi, lebih dari 50 orang dilaporkan mengalami luka-luka. Pada Jumat pagi, ratusan orang melakukan aksi jalan ke alun-alun Tahrir dari berbagai sudut jalan. Mereka mengutuk para elit politik yang dituding amat korup, budak kekuasaan asing dan bertanggung jawab atas privatisasi.
Unjuk rasa di Irak dalam beberapa hari terakhir pada siang hari berjalan damai. Ikut berpartisipasi para lansia dan keluarga muda. Namun menginjak malam, situasi akan berubah menjadi aksi kekerasan karena aparat kepolisian menggunakan gas air mata dan senjata untuk menundukkan kalangan muda Irak yang masih berada di jalan melakukan protes.
Lembaga Amnesti Internasional pada Kamis, 31 Oktober 2019, mengatakan pasukan keamanan Irak menggunakan tabung gas air mata yang dalam unjuk rasa sebelumnya tidak terlihat. Tabung gas air mata itu seperti granat militer yang 10 kali lebih berat dari yang standar. Unjuk rasa yang di alun-alun Tahrir telah membuat arus lalu lintas dialihkan.