TEMPO.CO, Jakarta - Benny Wenda, sosok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dari Indonesia mendesak PBB berkunjung ke Indonesia guna menyaksikan secara langsung apa yang sebenarnya terjadi di Papua Barat.
Wenda mengatakan, Indonesia sebagai anggota PBB memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan cross check masalah HAM khususnya dalam peristiwa unjuk rasa di satu SMA yang berakhir dengan 31 orang tewas dan puluhan orang terluka.
Wenda menyampaikan hal itu dalam wawancara khusus dengan Raimundos Oki, Koresponden Tempo di sela Sidang Umum PBB di New York, 27 September 2019 jam 7 malam waktu setempat. Benny hadir sebagai bagian dari delegasi Vanuatu.
Benny menanggapi situasi yang memanas di Papua dengan sejumlah unjuk rasa yang menewaskan 31 warga sipil, anak-nak, imigran dan merusak sejumlah bangunan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Pemicu utama unjuk rasa mematikan ini adalah ucapan seorang guru sekolah menengah atas di Wamena menyebut siswanya sebagai monyet. Kemudian para siswa menggelar sendiri unjuk rasa damai dan militer Indonesia menembaki mereka.
"Saya sangat khawatir melihat Papua Barat, itu sebabnya mengapa saya mendesak PBB untuk berkunjung ke Papua untuk menyaksikan yang sesungguhnya terjadi di Papua Barat," kata Benny.
Benny menuding militer Indonesia telah membunuh puluhan warga sipil di Papua Barat.
Menteri Koordinator politik, hukum dan HAM atau Menkopolhukam, Wiranto telah mengerahkan sekitar 16 ribu pasukan tambahan ke Papua Barat sebagai garda pengaman warga Papua. Namun kenyataannya, pasukan tambahan ini memicu eskalasi.
"Jadi ini tanggung jawab pemerintah Indonesia," ujar Benny.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membeberkan temuan-temuannya terkait kerusuhan di Wamena, Papua. Menurut Komnas HAM aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan diakibatkan oleh miskomunikasi di SMA PGRI.
“Kronologi dari investigasi yang dilakukan oleh perwakilan Komnas HAM menunjukkan ada miskomunikasi,” kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Fauzan Damanik, dalan konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin 30 September 2019.
Tim perwakilan Komnas HAM memulai investigasi dengan mewawancarai guru dan murid SMA PGRI. Cerita bermula pada Selasa tanggal 17 September 2019, saat guru Riris Panggabean menjadi pengganti.
Riris, kata Damanik, mengaku sempat cekcok dengan salah satu murid. Sebabnya, si murid itu mengira Riris menyebut kata "Kera".
“Sebetulnya kalau menurut versi ibu ini dia tidak mengucapkan kera tapi keras,” kata Damanik. Namun persoalan tersebut diklaim sudah selesai.
Baru pada Sabtu 21 September ada sebagian murid yang kembali meributkan persoalan tersebut. Namun keributan hari itu pun diklaim dapat diselesaikan dengan mediasi yang dilakukan oleh guru-guru lain di sekolah tersebut.
Saat proses mediasi selesai, disebutkan Riris dan para murid saling bermaaf-maafan, bahkan sempat bernyanyi bersama untuk merayakan salah satu anak murid yang berulang tahun. “Baik-baik saja, enggak ada apa-apa,” kata dia.
Belakangan, kata Damanik. pada Ahad pagi, tiba-tiba ada penyerangan ke SMA PGRI. Hari Senin, guru-guru menemukan banyak fasilitas yang rusak akibat serangan tersebut.
Komnas HAM mencatat ada 31 orang korban meninggal serta 43 korban luka-luka yang tercatat menjadi pasien di Rumah Sakit Wamena, Papua. Sebanyak 43 korban itu mengalami luka serius.