TEMPO.CO, Jakarta - Bandara internasional Hong Kong berubah menjadi sebuah studio seni pada Jumat, 16 Agustus 2019. Puluhan demonstran berpakaian hitam melakukan aksi duduk di bandara dan menggunakan lantai terminal untuk menyebarluaskan kerusuhan sipil di Hong Kong lewat karya seni.
Protes anti-pemerintah telah mengguncang Hong Kong, sebuah pusat keuangan Asia. Unjuk rasa itu menentang RUU ekstradisi yang sekarang sudah ditangguhkan.
RUU ekstradisi memungkinkan Cina mengekstradisi pelaku kriminal di Hong Kong dan mengadilinya di Cina. Partai Komunis Cina diduga mengendalikan sistem peradilan di Negeri Tirai Bambu itu.
Unjuk rasa menentang RUU ekstradisi saat ini sudah berubah menjadi reaksi yang lebih luas yang menyoroti naiknya campur tangan Cina di Hong Kong yang berstatus wilayah semi-otonom. Tidak ada satu otoritas pusat atau figur yang mengatur aksi protes Hong Kong.
Unjuk rasa sebagian besar dikoordinir melalui aplikasi media sosial yang sebagian besar tidak memiliki pemimpin. Hal yang sama berlaku untuk materi promosi, dari kreasi hingga desain dilakukan tanpa ada yang memberikan aba-aba. Semuanya dilakukan anonim, sukarela, dan digerakkan oleh para pengguna internet.
"Kami tidak memiliki pemimpin. Semua orang adalah pemimpin. Sebab kami mencari demokrasi. Itu sebabnya kami menghormati pendapat semua orang. Pemerintah dan polisi memiliki terlalu banyak wewenang dan kekuasaan. Saya rasa kita tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah pola pikir mereka. Tetapi jika setiap orang dari kita berkontribusi sedikit kemampuan mereka, maka itu bisa menjadi kekuatan besar," kata Xavier Li, wraga Hong Kong yang baru lulus kuliah, 23 tahun.
Para Pengunjuk Rasa Hong Kong Mengubah Bandara Menjadi Bengkel Seni. Sumber: Anthony Kwan, Getty Images/news.artnet.com
Mengingat tidak semua orang bisa atau ingin berada di garis depan dalam aksi unjuk rasa, maka ada demonstran yang menggunakan seni untuk menyampaikan protes. Lewat karya seni, mereka mencoba memberi informasi kepada masyarakat Hong Kong yang lain soal unjuk rasa yang dilakukan ini.
Diantara karya seni itu adalah selebaran yang ditulis dalam bahasa asing seperti Inggris, Jepang dan Korea Selatan dan bahasa mandarin, untuk warga asing yang datang ke Hong Kong. Ada pula gambar-gambar yang tentang protes di Hong Kong.
Di bandara, seorang pengunjuk rasa mengangkat komputernya memperlihatkan rekaman video penjelasan unjuk rasa di Hong Kong. Pengunjuk rasa yang lain mengangkat tanda kode QR yang menghubungkan ke video dan situs yang lebih informatif.
"Kami hanya melakukan apa yang bisa kami lakukan untuk memberi tahu orang-orang apa yang terjadi di Hong Kong. Siapa pun dapat berkontribusi dan berbagi karya seni protes di media sosial - terutama Telegram, Airdrop, Instagram, dan LIHKG," kata Wat, salah seorang demonstran.
Ribuan demonstran di Hong Kong diperkirakan masih akan memadati jalan-jalan utama di Hong Kong pada akhir pekan. Banyak seruan agar unjuk rasa ini segera berhenti.
ALJAZEERA | MEIDYANA ADITAMA WINATA