TEMPO.CO, Washington - Program pembangunan infrastruktur global besutan pemerintah Cina yaitu Belt and Road Initiative menimbulkan kekhawatiran menjadi proyek global yang ditunggangi kepentingan politik dan militer.
Lembaga riset asal Amerika Serikat, C4ADS, mempertanyakan penjelasan pemerintah Cina bahwa proyek bernilai triliunan dolar dan melibatkan 71 negara di Asia, Eropa, dan Afrika ini semata untuk pembangunan ekonomi saja. Proyek BRI ini berdampak pada 65 persen populasi dunia.
“Riset ini menganalisis 15 proyek pelabuhan di Bangladesh, Sri Lanka, Kamboja, Australia, Oman, Malaysia, Bangladesh, Indonesia, Djibouti dan negara lain di kawasan Indo-Pasifik. Hasil riset ini menyimpulkan proyek-proyek ini tidak didorong oleh kesepakatan ekonomi saling menguntungkan bagi rakyat di negara penerima proyek seperti diklaim oleh Beijing,” begitu dilansir SCMP pada 18 April 2018.
C4ADS merupakan sebuah lembaga riset nirlaba yang memiliki spesialisasi dalam analisis data dan keamanan. Para penelitinya mengecek dokumen resmi kebijakan pemerintah Cina dan laporan tidak resmi dari analis yang fokus mengenai isu Cina.
Mengenai temuan ini, kementerian Luar Negeri Cina menolak temuan ini dengan mengatakan proyek BRI ini merupakan proyek pembangunan ekonomi. Tujuannya untuk mempromosikan pembangunan lewat infrastruktur.
“Cina tidak memainkan permainan geopolitik,” begitu pernyataan kementerian.
Meski tidak ada dokumen resmi yang mengaitkan proyek ekonomi ini dengan kepentingan keamanan nasional Cina, para analis dari C4ADS mengatakan keduanya terkait.
“Banyak pengamat mengakui jaringan pusat maritim logistik di Indo-Pasifik termasuk pelabuhan berpotensi mengubah lanskap strategis wilayah. Beberapa pengamat mengatakan peran investasi infrastruktur dalam strategi besar Cina,” begitu laporan itu menyatakan.
Proyek BRI ini meliputi lokasi strategis seperti pintu masuk ke kawasan maritim bersengketa. Ini bisa dianggap sebagai upaya Beijing untuk mengamankan kepentingannya untuk suplai energi dan kemungkinan terjadinya blokade militer atau ekonomi.
Proyek pelabuhan ini memiliki dua fungsi yaitu sipil dan militer, serta adanya pengaruh Partai Komunis Cina lewat keterlibatan perusahaan BUMN dan kontrol lewat kepemilikan saham atau kontrak sewa jangka panjang. Selain itu, kesepakatan proyek ini tidak transparan dan tidak mencantumkan perkiraan profit yang diharapkan.
Seorang analis Peter Cai dari Lowy Institute di Australia mengaku skeptis adanya kepentingan militer Cina dalam pembangunan proyek pelabuhan ini.
Namun, dia mengakui pengaruh politik Cina akan semakin membesar di negara-negara yang terkoneksi dengannya.
“Hubungan ini akan membangun aktivitas ekonomi. Dan Anda tahu pengaruh ekonomi bisa dengan mudah menjadi pengaruh dan kekuatan politik,” kata Cai.
Salah satu contoh proyek kontroversial pelabuhan seperti ini terjadi di Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka meneken kerja sama 99 tahun penyewaan pelabuhan Hambantota, yang terletak di jalur sibuk Samudera India. Ini akan termasuk pembangunan kawasan perdagangan bebas, yang dikontrol perusahaan asal Cina.
“Cina telah berhasil membangun keuntungan finansial atas Sri Lanka lewa investasi bernilai miliaran dolar ini. Level utang untuk pembangunan proyek ini membuat pemerintah Sri Lanka kesulitan mengalihkan negara dari pengaruh Cina,” begitu dilansir lembaga riset C4ADS.