TEMPO.CO, Jakarta - Sedikitnya 44 orang tewas dan 130 lebih terluka dalam serangan udara ke pusat detensi migran di ibu kota Libya, Tripoli, pada Selasa kemarin.
Ini adalah laporan korban tertinggi dari serangan udara atau baku tembak sejak pasukan timur di bawah Jenderal Khalifa Haftar meluncurkan serangan darat dan udara tiga bulan lalu untuk merebut Tripoli, pangkalan pemerintah Libya yang diakui secara internasional.
Baca juga: Pasukan Khalifa Haftar Serang Drone Turki di Bandara Libya
Konflik itu mengancam akan mengganggu pasokan minyak, meningkatkan migrasi melintasi Mediterania ke Eropa, membatalkan rencana AS untuk pemilihan dan menciptakan kekosongan keamanan yang bisa diisi oleh militan Islam.
Reuters melaporkan, Angkatan udara Haftar pada Rabu malam menyerang satu-satunya bandara Tripoli yang berfungsi, yang berada di area yang sama dengan pusat penahanan, menyebabkan penutupan sementara untuk lalu lintas sipil.
Baca Juga:
Juru bicara LNA, Ahmed Mismari mengatakan, serangan itu menghancurkan ruang kendali pesawat tak berawak di bandara.
Baca juga: Pasukan Libya Sita Rudal Presisi Milik Cina dari Pemberontak
Utusan Libya untuk PBB Ghassan Salame mengutuk serangan itu, dan mengatakan serangan itu adalah kejahatan perang.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres marah dengan serangan udara itu dan menyerukan penyelidikan independen, kata juru bicaranya.
Seorang imigran membawa barangnya melewati reruntuhan bangunan di pusat penahanan dan penampungan imigran Afrika yang menjadi sasaran serangan udara, di Tajoura, Libya, Rabu, 3 Juli 2019. REUTERS/Ismail Zitouny
Dewan Keamanan AS bertemu di Libya secara tertutup tetapi para diplomat mengatakan Amerika Serikat mencegah badan beranggotakan 15 negara itu mengeluarkan pernyataan yang mengecam insiden itu dan menyerukan gencatan senjata.
Tidak jelas mengapa Washington menolak mendukung pernyataan itu, kata para diplomat.
Libya adalah salah satu titik keberangkatan utama bagi para migran Afrika yang melarikan diri dari kemiskinan dan perang untuk mencoba mencapai Italia dengan kapal, tetapi banyak yang diambil dan dibawa kembali oleh penjaga pantai Libya, yang didukung oleh Uni Eropa.
Baca juga: 4 Fakta Konflik Perang Saudara di Libya
Sekitar 6.000 orang ditahan di pusat-pusat penahanan migran yang dikelola pemerintah, yang diklaim kelompok-kelompok hak asasi manusia dan PBB ditahan dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Pusat penahanan migran tipe hanggar terletak di sebelah kamp militer, salah satu dari beberapa di Tajoura, sebelah timur dari pusat ibu kota Libya, yang telah menjadi sasaran serangan udara selama berminggu-minggu.