TEMPO.CO, New York -- Pemerintah Uni Emirat Arab, UEA, meminta perusahaan peretas asal Israel untuk menyadap jalur komunikasi dan telepon seluler dari emir Qatar dan seorang pangeran Arab Saudi.
Baca:
Penyadapan ini menggunakan program spyware bernama Pegasus yang diproduksi oleh NSO Group dari Israel.
Berita ini dipublikasikan pertama kali oleh media New York Times berdasarkan surat elektronik yang diperoleh media itu.
Surat elektronik bocoran itu berisi informasi mengenai dua gugatan hukum terhadap NSO Group, yang dituding melakukan kegiatan ilegal mata-mata untuk kliennya.
Baca:
Kata Luhut Binsar Soal Pemeriksaan Penyadapan oleh Badan Siber
“Dua gugatan itu diajukan di Israel dan Siprus oleh seorang warga Qatar, jurnalis asal Meksiko, dan aktivis, yang menjadi target peretasan oleh program mata-mata bernama Pegasus,” begitu dilansir Aljazeera mengutip berita itu pada Jumat, 31 September 2018.
Email itu merupakan bagian dari barang bukti yang diajukan dalam gugatan hukum tadi. Menurut informasi dari surat elektronik itu, UAE menandatangani kontrak lisensi penggunaan program pemantauan Pegasus sejak awal Agustus 2013.
Pangeran Mutaib Bin Abdullah dari Arab Saudi sempat disebut-sebut sebagai calon raja menggantikan Raja Abdullah. Egypt Independent
Menurut media Haaretz, salah satu yang terkena penyadapan adalah seorang redaktur surat kabar Arab yang berbasis di Inggris.
Baca:
NSO dikabarkan mengirimkan surat elektronik kepada pemerintah UEA berisi dua rekaman telepon yang dibuat Abdulaziz Alkhamis. Alkhamis mengkonfirmasi soal ini kepada New York Times namun dia mengaku tidak tahun sedang disadap saat menelpon.
Pemerintah disebut UEA berupaya mencegat hubungan telepon Emir Qatar Sheikh Tamim Bin Hamad Ali Thani pada 2014. Selain itu, UEA juga berusaha menguping pembicaraan Pangeran Mutaib Bin Abdullah, yang saat itu dianggap berpeluang menjadi raja Saudi.
Tokoh lainnya yang menjadi sasaran kegiatan mata-mata UEA adalah Saad Hariri, yang menjadi Perdana Menteri Lebanon saat ini dan sempat diminta mundur oleh Saudi pada awal 2017.
Untuk mengaktifkan program mata-mata Pegasus pada ponsel yang menjadi target perekaman, pengguna mengirimkan sebuah link ke ponsel itu. Jika pemilik ponsel mengeklik link itu,program koneksi Pegasus bakal terunduh secara diam-diam di dalam ponsel.
Baca:
Ini memudahkan pengguna spyware tadi mengakses semua informasi dan data dari ponsel seperti nomor kontak, pesan teks, email, dan data online seperti Facebook, Skype, WhatsAPp, Viber, WeChat, dan Telegram.
Teknologi canggih spyware ini juga mampu memonitor sambungan telepon dan juga menyadap bahkan percakapan langsung antar dua orang atau lebih yang berlangsung di sekitar pengguna spyware.
Menurut berita yang dilansir New York Times, gugatan itu menyatakan afiliasi dari NSO Group berhasil merekam percakapan telepon seorang jurnalis.
Baca:
Spyware itu juga coba digunakan untuk menyadap sejumlah pejabat pemerintahan atas permintaan dari pelanggan dari UEA sekitar empat tahun lalu.
Gugatan hukum ini dilakukan untuk mempertanyakan klaim dari NSO bahwa produk perusahaan hanya dijual ke pemerintah yang berkomitmen menggunakannya untuk penegakan hukum.
Penyadapan perusahaan kantor berita milik Qatar dan akun sosial media pemerintah pada 24 Mei 2017 memicu terjadinya krisis diplomatik besar. Ini berujung dengan pemutusan hubungan diplomatik antara Arab Saudi, UEA, Bahrain, Mesir dengan Qatar termasuk hubungan lalu lintas darat, air, laut pada 5 Juni 2018.
NSO Group juga menjual teknologi Pegasus kepada pemerintah Meksiko dengan syarat spyware ini hanya digunakan untuk menyadap aktivitas kriminal dan teroris. Namun, sejumlah tokoh jurnalis terkemuka, akademisi, pengacara HAM dan penyelidik kriminalitas malah menjadi target.
Pendiri NSO Group Omri Lavie, kiri, and Shalev Hulio. Perusahaan ini menyediakan piranti lunak untuk penyadapan bernama Pegasus. Haaretz
Baca:
Pada 1 Agustus 2018, Amnesty International mempublikasi laporan bahwa salah satu pegawainya menjadi target serangan menggunakan pesan WhatsApp pada awal Juni 2018 terkait protes di depan kedubes Arab Saudi di Washington DC.
Menurut pengelola lembaga HAM berbasis di London ini, link jahat yang dikirim lewat WA tadi terkait dengan jaringan situs yang terkoneksi dengan NSO Group.
Sebelumnya, NSO Group mengakui meminta bayaran sekitar US$65 ribu atau sekitar Rp1 miliar untuk meretas sepuluh perangkat komunikasi diluar biaya instalasi sekitar US$500 ribu atau sekitar Rp7,4 miliar.
Menurut Haaretz, seorang pegawai NSO pernah dituduh mencuri spyware perusahaan dan mencoba menjualnya ke pasar gelap di internet.
Perusahaan NSO ini berdiri pada 2010 oleh tiga veteran dari militer dari unit sinyal intelijen 8200 yaitu Niv Carmi, Omri Lavie, dan Shalev Hulio. Mereka membuat Pegasus itu, yang merupakan produk satu-satunya perusahaan, sejak awal berdirinya perusahaan.
Piranti lunak asal Israel ini dapat mengakses telepon seluler dan merekam percakapan telepon, mengakses fitur kamera, melihat pesan teks dan memperoleh koordinasi GPS. Piranti lunak ini bisa diinstal dari jauh atau remote installation ke piranti mobil apapun tanpa sepengetahuan pemilik ponsel tadi.