TEMPO.CO, Jakarta - Meher, 25 tahun, menimang-nimang bayinya bernama Yasmin, dalam gendongannya. Sesekali, dia memberikan bayi 1,5 bulan itu susu.
Meher sangat mencintai anaknya, meski setiap kali melihat bayi tersebut, dia selalu teringat peristiwa yang akan menerornya seumur hidup. Maher berasal dari etnis minoritas Rohingya yang menjadi salah satu korban perkosaan bergilir yang dilakukan oleh anggota militer Myanmar.
“Dia adalah bayi saya dan saya sangat mencintainya, namun setiap kali saya melihatnya saya juga teringat peristiwa horor itu,” kata Meher, seperti di kutip dari CNN.com, Sabtu, 25 Agustus 2018.
Etnis minoritas Rohingya di Myanmar sudah lama mengalami diskriminasi. Mereka dianggap sebagai imigran ilegal dan tak dianggap sebagai warga negara Myanmar. Saat ini, ada ratusan ribu etnis Rohingya yang menghuni kamp-kamp pengungsian Cox’s Bazar di selatan Bangladesh.
Baca: Militer Myanmar Perkosa Wanita Rohingya, Ini Temuan Dokter PBB
Seorang perempuan Rohingya bersama dengan pengungsi lain membawa kertas yang isinya menuntut keadilan, saat aksi damai di kamp pengungsian Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh, Sabtu, 25 Agustus 2018. Tahun lalu, sekitar 700 ribu orang Rohingya mengungsi ketika militer Myanmar melaksanakan operasi di Negara Bagian Rakhine. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Baca: Krisis Rohingya Picu Protes Warga Muslim Asia
Yasmin merupakan satu dari puluhan bayi yang dilahirkan beberapa pekan terakhir oleh perempuan-perempuan yang mengklaim telah diperkosa oleh anggota militer Myanmar saat terjadi aksi kekerasan di negara bagian Rakhine September 2017. PBB menyebut, tindak kekerasan itu adalah upaya pembersihan etnis.
Myanmar menyangkal tuduhan ini. Zaw Htay, Juru bicara Kepresidenan Myanmar mengatakan tidak ada bukti militer Myanmar telah melakukan tindak pelanggaran HAM. Myanmar bahkan telah membentuk komisi independen baru yang akan menginvestigasi tuduhan tersebut, termasuk tindak perkosaan.
Namun bantahan Myanmar itu terpatahkan oleh fakta di lapangan. Pada pintu masuk kamp-kamp pengungsian, sejumlah lembaga nirlaba membuka beberapa klinik, termasuk tempat bersalin. Organisasi Dokter Lintas Batas atau MSF memperkirakan ada sekitar 30 ribu ibu hamil di seluruh kamp pengungsian Cox’s Bazar dan hanya Tuhan yang tahu persis berapa banyak bayi dari jumlah itu adalah hasil perkosaan.