TEMPO.CO, Harare – Warga Zimbabwe mengikuti pelaksanaan pemilu pertama negara itu pada Senin, 30 Juli 2018 pasca jatuhnya bekas diktator Presiden Robert Mugabe.
Baca:
Militer Zimbabwe Dukung Massa Tuntut Robert Mugabe Mundur
Warga Zimbabwe Akhirnya Bebas Mentertawakan Eks Diktator Mugabe
Mugabe, yang berkuasa sejak 1980an, jatuh akibat kudeta tentara pada 2017 setelah memburuknya perekonomian negara. Ini berujung pada krisis politik antara Mugabe dan wakil Presiden, Emmerson Mnangagwa, yang diberhentikannya.
Komisi Pemilihan Umum Zimbabwe melansir sekitar 70 persen pemilik suara menggunakan hak pilihnya. Dalam pernyataan menjelang pemilu, Mugabe mengatakan dia tidak akan memilih partai Zanu-PF, yang dulu dipimpinnya.
“Saya tidak bisa memilih Zanu-PF. Saya tidak bisa memilih orang - orang yang telah membuat saya menjadi seperti ini,” kata Mugabe, 94 tahun, seperti dilansir CNN pada Senin, 30 Juli 2018.
Dalam jumpa pers di kebun di rumahnya, Mugabe melanjutkan,”Saya tidak bisa memilih orang-orang yang telah menyiksa saya. Saya tidak bisa.”
Robert Mugabe akhirnya mengundurkan diri setelah 37 tahun berkuasa di Zimbabwe, pada 21 November 2017. Pengumuman pengunduran diri Mugabe dikeluarkan saat sidang parlemen, menyusul kudeta pemerintah Zimbabwe yang dilakukan oleh militer sejak awal November 2017. Mantan wakil presiden Emmerson Mnangagwa akhirnya menggantikan posisi orang nomor satu di negara tersebut. AFP
Dia mencoblos di daerah Highfield, yang terletak di pinggiran ibu kota Harare. Sedangkan Mnangagwa, yang menjadi Presiden sementara menggantikan Mugabe, mencoblos di lokasi terpisah.
Pemilu ini menjadi pertaruhan bagi rakyat Zimbabwe untuk mengubah negara mereka dari berbasis 'orang kuat' menjadi berbasis sistem demokrasi.
Saat ini Zimbabwe mengalami hiperinflasi akibat mismanajemen pemerintah dan sanksi ekonomi dunia internasional. Pemerintah baru membutuhkan dukungan dunia internasioal untuk meminjamkan dana dan tenaga ahli untuk memperbaiki kondisi perekonomian.
“Pemilu ini, jika berlangsung bebas dan adil, akan memberikan kesempatan bagi Zimbabwe untuk membangun oposisi yang kuat di parlemen untuk pertama kalinya sejak 1987. Oposisi ini bahkan bisa menggantikan posisi partai Zanu-PF,” kata Heike Schmidt, seorang profesor bidang sejarah Afrika moderen di University of Reading di Inggris.
Schmidt mengaku melihat tindak kekerasan dan intimidasi tidak terlalu banyak mejelang pelaksanaan pencoblosan suara. “Sepertinya Presiden Mnangagwa percaya diri bakal memenangkan pemilu ini,” kata dia.
Menurut Mugabe, Zimbabwe belum menjadi negara bebas. Ini karena Mnangagwa, 75 tahun, Partai Zanu-PF dan kelompok tentara, masih menciptakan kondisi yang tidak bebas.
Baca:
Ini Kronologi Kudeta Mugabe oleh Militer Zimbabwe
Zimbabwe Gelar Pemilu Pertama Sejak Presiden Mugabe Jatuh
“Selama ini saya menangis agar kita kembali ke konstitusi, ke asas legalitas, kepada kebebasan rakyat kita. Mereka belum bebas,” kata Mugabe. “Ini terjadi sejak tank-tank bergerak di berbagai penjuru negeri dan terjadinya pengambil-alihan oleh tentara,” kata dia.
Mugabe juga mendesak pemerintah untuk menghormati istrinya Grace dan tidak mengganggunya. “Mungkin mereka berpikir dengan menyerangnya mereka bisa menyerang saya. Jangan ganggu istri saya,” kata dia.
Sebaliknya, Mnangagwa menggunakan intervensi Mugabe ini untuk menyerang pesaingnya Nelson Chamisa, 40 tahun, dari Partai Gerakan Perubahan Demokratik. Mnangagwa menyebut Chamisa dan Mugabe telah membuat kesepakatan. “Jadi kita tidak bisa percaya ini untuk membangun kembali negara kita,” kata Mnangagwa.